Postingan

SURABAYA

Icha berdiri di sudut terminal Surabaya, memandangi keramaian yang seolah tak pernah berhenti. Ada keraguan yang menyelimuti hatinya. Setahun lalu, dia datang ke kota ini dengan rasa takut yang luar biasa, penuh kecemasan tentang kemampuannya bertahan sendiri. Saat itu, dunia terasa begitu besar, dan dia merasa terlalu kecil untuk menghadapinya. Namun, saat ini, semuanya berbeda.   Surabaya kini tidak lagi sekadar kota besar yang menakutkan. Icha sudah banyak berubah—tak lagi membiarkan ketakutannya menuntun langkah. Setiap sudut kota ini membawa kenangan tentang betapa jauh dirinya sudah berubah. Ketika pertama kali tiba, dia merasa seperti kapal yang terombang-ambing di tengah lautan lepas. Sekarang, meski masih ada rasa asing yang menempel, Icha merasa lebih kuat. Kakinya melangkah dengan mantap, meski tak bisa dipungkiri, ada sedikit kegamangan di hatinya.   Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari rumah. "Icha, kami butuh kamu. Semua tidak sama tanpa kamu di...

SEPEDA

Dari kecil, aku suka sepeda, Teman setia ke mana saja. Tak perlu bensin, tak perlu biaya, Hanya aku dan jalan yang terbuka. Sayang, waktu beranjak dewasa, Sepeda pun tinggal cerita. Di kota baru, langkah menggantinya, Berjalan kaki jadi biasa. Liburan tiba, aku kembali, Menyusuri kota yang damai sekali. Udara segar, polusi tak berarti, Ah, kapan lagi bisa begini? Sepeda impian selalu kunanti, Tapi entah kenapa tak kunjung terbeli. Padahal menabung sedikit demi sedikit tiap hari, Entah kapan kupunya, nanti. Namun aku sadar satu perkara, Sepeda kini bukan untuk semua. Orang bertanya-tanya, “Kenapa?” “Naik sepeda? Apa tak punya kendaraan lainnya?” Mereka lupa, sepeda tak cuma roda, Ia adalah jalan ke dunia yang lebih lega. Lebih sehat, lebih sederhana, Dan semua pun berterima kasih padanya. Bayangkan bila banyak yang sadar, Mengayuh sepeda di jalanan besar. Tanpa asap, tanpa bising yang gentar, Lingkungan tersenyum, udara pun segar. Tapi, aku tahu, ini tak mudah, Dunia seringkali terjebak...

PERMATA (2 - TAMAT)

Malam itu, setelah makan malam, Rio bersandar di sofa, memandangi Icha yang sibuk memindahkan pot tanaman kecil dari sudut ruang tamu ke sudut lainnya. Kebiasaan lamanya. Ia tersenyum tipis. Betapa Icha selalu mencari "sudut sempurna," meski Rio tahu esok pagi tanaman itu akan digeser lagi. "Sayang..." panggil Rio lembut, suaranya nyaris tak kedengaran. "Hmm?" Icha menoleh. "Mas mau tanya..." Rio berhenti sejenak, seolah memilih kata-kata yang tepat. "Kamu bahagia, tidak?" Pertanyaan itu sederhana, tetapi terasa seperti batu besar yang dilempar ke danau tenang. Membuat riak di hati Icha. Ia terdiam, menatap hampa, seperti mencari jawab di sela jari-jarinya. "Kenapa nanya begitu, Mas? Kita kan baik-baik saja," katanya akhirnya, dengan senyum kecil yang ia paksakan. Rio tersenyum samar, tapi matanya tajam menembus dinding perasaan yang coba Icha sembunyikan. "Kadang Mas merasa... kamu masih menyimpan banyak hal yang membuat...

DISKUSI

Diskusi Ruang Aman Milik Bersama Edisi 16 HAKTP - Kulon Project Bondowoso Toko Kopi Sinisuka, Kota Kulon  7 Desember 2024 Dalam rangka mendukung Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP), diskusi ini membicarakan bagaimana menciptakan ruang aman, terutama di ruang publik. Berikut adalah poin-poin utama yang dibahas: 1. Kenali Ancaman di Sekitar Pelecehan verbal seperti cat calling sering dianggap hal biasa, padahal itu adalah ancaman nyata yang sering diabaikan. Penting untuk tahu potensi risiko di ruang publik dan memetakan ancaman ini untuk melindungi diri. 2. Hadapi Pelaku dengan Tegas Kalau memungkinkan, tegur pelaku secara langsung. Tapi kalau situasinya tidak aman, lebih baik segera tinggalkan lokasi. Untuk orang sekitar, jangan diam. Tegur atau ingatkan pelaku secara proaktif, karena ini bisa menghentikan perilaku buruk itu. 3. Jauhi Lingkungan Tidak Sehat Saat pelaku atau lingkungan tidak berubah, jauhi dan hindari tempat tersebut. Dalam hubungan pribadi yang toxic , p...

RENTA

Bis itu menderu sangat kencang. Dengan nekat, ia menyalip ke kanan dan ke kiri kendaraan di depannya. Asap rokok membumbung. Diiringi deritan engsel-engsel dalam bis yang sudah renta, para penumpang yang bermacam-macam silih berganti naik dan turun. Bis itu menghela napas panjang.  Baru saja sesosok kakek menumpanginya, membawa aneka benda yang tampak seperti oleh-oleh bagi keluarga di desa. Ia duduk di samping seorang wanita, yang memakai hijab hitam dan termenung menatap jalan di depannya. Sesekali ia menyeka keringat yang membanjiri dahinya. Bis itu pengap, panas. Bercampur dengan polusi yang dikeluarkannya, panas mentari di atasnya, dan aroma berbagai benda di dalamnya.  Pendingin udara? Apa itu? Bis yang entah diproduksi tahun berapa itu harus merasa cukup hanya dengan kemampuannya berjalan tanpa mogok di tengah jalan. Kenyamanan bukanlah prioritas, satu-satunya hal yang penting adalah kecepatan sampai di tujuan. Lagi-lagi, bis itu terbatuk-batuk. Memuntahkan asap hitam k...

NOODLOTTIGE ONTMOETING

In een klein café in Amsterdam zat Ella alleen, de onbekende stad drukte op haar. Het was haar eerste keer in Nederland en een golf van eenzaamheid spoelde over haar heen terwijl ze de patronen op haar koffiekopje tekende. Buiten glinsterden de grachten, een ballet van fietsen die door de straten slingerden. "Is deze plek bezet?" vroeg een zachte stem. Ella keek op en ontmoette de vriendelijke ogen van een jongeman met een warme glimlach.  "Nee, natuurlijk niet," antwoordde ze, een blos verwarmde haar wangen.Hij ging tegenover haar zitten. "Ik ben Andrew," zei hij. "Ella," antwoordde ze. Hun gesprek begon met smalltalk - het onvoorspelbare Amsterdamse weer, de heerlijke gebakjes van de nabijgelegen bakkerij, de betoverende charme van de stad.  Maar al snel gingen hun woorden dieper. Ella sprak over haar reizen, haar dromen en het verlangen in haar hart naar iets meer. Andrew deelde op zijn beurt zijn passie voor kunst, zijn ogen fonkelden terwijl...

FATEFUL ENCOUNTER

 In a small café in Amsterdam, Ella sat alone, the unfamiliar city pressing down on her. It was her first time in the Netherlands, and a wave of loneliness washed over her as she traced the patterns on her coffee cup. Outside, the canals glistened, a ballet of bicycles weaving through the cobblestones. "Is this seat taken?" a soft voice asked. Ella looked up and met the kind eyes of a young man with a warm smile. "No, of course not," she replied, a blush warming her cheeks. He sat down opposite her. "I'm Andrew," he said. "Ella," she replied. Their conversation began with small talk – the unpredictable Amsterdam weather, the delicious pastries from the nearby bakery, the enchanting charm of the city. But soon, their words went deeper. Ella talked about her travels, her dreams, and the longing in her heart for something more. Andrew, in turn, shared his passion for art, his eyes sparkling as he described his favorite museums. Time seemed to sl...