Postingan

JEJAK

Udara masih dingin saat Bapak Jaka memulai pekerjaannya. Gelap melingkupi pantai. Ia hanya ditemani desiran ombak dan sesekali, lampu perahu nelayan di kejauhan. Tangannya cekatan mengayunkan sapu lidi, mengumpulkan sisa-sisa kehidupan yang ditinggalkan pengunjung: botol plastik, kertas makanan, kadang juga sandal yang kehilangan pasangannya. Baginya, pantai yang masih sunyi adalah bagian paling indah dari hari. Tanpa jejak kaki, pasir tampak suci, memantulkan sinar purnama yang perlahan memudar. Ia selalu berpikir, bagaimana mungkin keindahan ini sering diabaikan? Namun setiap pagi, bukan hanya tugas yang menyambutnya. Di antara gelap, ada misteri kecil: seorang gadis muda yang selalu duduk di batu karang sembari menggenggam buku catatan. Bapak Jaka penasaran. Mengapa gadis itu selalu ada sepagi itu di sana? Pada suatu hari, keberaniannya mengalahkan rasa segan. "Nak, apa yang kamu tulis di sana?" tanyanya, menyeka keringat di dahinya. Gadis itu tersenyum kecil, lalu menjawa...

TERBANG

Butiran embun pagi masih menempel di tubuh kecilku. Aku tergeletak di bawah, sayapku terluka setelah gagal mencoba terbang. Rasa sakit membuatku ingin menyerah. “Ciu, kamu di mana?” Suara itu lembut, penuh kekhawatiran. Aku ingin menjawab, tapi hanya bisa berkicau lirih. Tiba-tiba, bayangan besar menghampiriku. “Astaga, Ciu! Kenapa sayapmu begini?” Tangan hangat meraihku perlahan, menyelimutiku dengan kain lembut. Itu Rani, gadis yang selalu mengisi hariku dengan keceriaan. Rani membawaku ke rumah. Ia membersihkan sayapku yang kotor, mengoleskan sesuatu yang hangat dan menyembuhkan. “Kamu pasti bisa terbang lagi, Ciu. Tapi, kamu harus sabar, ya...” katanya sambil tersenyum. Hari demi hari, Rani melatihku perlahan. “Ayo, Ciu. Coba bentangkan sayapmu.” Suaranya penuh harapan. Aku takut jatuh lagi, tapi tatapan Rani memotivasiku. “Aku percaya padamu.” Dengan gemetar, aku mencoba mengepakkan sayap. Awalnya sakit, tapi kemudian terasa lebih ringan. “Kamu bisa, Ciu!” serunya penuh semangat. ...

PASAR

Setahun tinggal di Bondowoso, akhirnya pagi ini aku melangkah masuk ke Pasar Induk—tempat yang selama ini hanya kulihat dari kejauhan. Udara dipenuhi aroma rempah bercampur tanah basah, sementara suara tawar-menawar dan gelak tawa menghidupkan suasana. Ada sensasi yang sulit dijelaskan: aku takjub, kagum, sekaligus sedikit terkejut. Pasar ini seperti cermin yang memantulkan kenangan masa lalu. Saat Bondowoso hanyalah nama tanpa arti, pikiranku selalu penuh dengan rencana untuk pergi. Tapi kini, entah kenapa, aku memilih untuk menetap di sini. Seorang nenek terlihat sibuk merapikan dagangan di lapaknya, sesekali tersenyum pada pembeli yang datang. Aku terdiam, mengamati detail yang sebelumnya luput dari pandangan. Ada kesederhanaan dalam tiap gerak, semangat dalam setiap percakapan. Tempat ini menawarkan kenyamanan yang berbeda, seperti pelukan halus dari masa kecil yang nyaris terlupakan. Di depan penjual kain, aku berhenti. Sebuah baju batik kecil menarik perhatian, sederhana namun pe...

WHISPERS OF THE PAST

In the heart of a small, quiet town, Where the streets are worn and the sun beats down, I walk again, through roads I knew, Where my childhood dreams once grew. The trees still hum their gentle song, Their shadows tall, their arms so strong. The river flows as it did before, But its voice seems softer, its secrets more. Each corner speaks of days long gone, Of laughter, tears, and a youthful dawn. Here’s the park where I used to play, Where joy and sorrow chose to stay. I see the house with the faded door, Its creaking hinges, its scuffed-up floor. Inside, the echoes of love and pain, A family’s story in sunshine and rain. The faces I knew, they’re shadows now, Their whispers brush my furrowed brow. The past is here, it’s woven tight, In every corner, in every light. But standing here, I feel the glow, Of what I lost and what I know. This town, this place, it holds my heart, A piece of me, a sacred part. Though memories sting, I smile still, For this small town shapes my will. It taugh...

كن نفسك

في أحد الأيام، حلّق غراب في سماءٍ واسعة. كان الغراب يحب الطيران بعيدًا، لكنه كان يشعر بالحزن لاعتقاده بأن صوته ليس جميلاً كصوت باقي الطيور.   وفي يومٍ ما، سمع الغراب صوت بلبلٍ جميلٍ يُغني على أغصان شجرةٍ وارفة.  فكر الغراب: "يا ليتني أستطيع الغناء كهذا البلبل! صوتُهُ رائعٌ جدًا."   اقترب الغراب من البلبل وقال: "أيها البلبل، أنا معجبٌ بصوتكِ كثيرًا. هل يمكنكِ تعليمي الغناء مثلكِ؟"   ابتسم البلبل وقال: "لا أستطيعُ تعليمكِ، لكن إنْ أردتَ، يمكنني مساعدتك في إيجاد صوتك الخاص."   سأل الغراب بدهشة: "كيف أجد صوتي الخاص؟"   أجاب البلبل: "لكل طائر صوتٌ خاصٌ به. عليك أن تفخر بما لديك. لا تحاول تقليد الآخرين، بل كن نفسك."   تأمل الغراب في كلام البلبل. ثم بدأ يغني بصوته الخاص، وكان صوته جميلاً بطريقةٍ مختلفة. اكتشف الغراب أنه لا يحتاج لأن يكون مثل الآخرين ليكون مميزًا.   منذ ذلك اليوم، أصبح الغراب سعيدًا بصوته الخاص، وبدأ يغني بصوتٍ عالٍ، بينما كان البلبل يستمع مبتسمًا.

SURABAYA

Icha berdiri di sudut terminal Surabaya, memandangi keramaian yang seolah tak pernah berhenti. Ada keraguan yang menyelimuti hatinya. Setahun lalu, dia datang ke kota ini dengan rasa takut yang luar biasa, penuh kecemasan tentang kemampuannya bertahan sendiri. Saat itu, dunia terasa begitu besar, dan dia merasa terlalu kecil untuk menghadapinya. Namun, saat ini, semuanya berbeda.   Surabaya kini tidak lagi sekadar kota besar yang menakutkan. Icha sudah banyak berubah—tak lagi membiarkan ketakutannya menuntun langkah. Setiap sudut kota ini membawa kenangan tentang betapa jauh dirinya sudah berubah. Ketika pertama kali tiba, dia merasa seperti kapal yang terombang-ambing di tengah lautan lepas. Sekarang, meski masih ada rasa asing yang menempel, Icha merasa lebih kuat. Kakinya melangkah dengan mantap, meski tak bisa dipungkiri, ada sedikit kegamangan di hatinya.   Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari rumah. "Icha, kami butuh kamu. Semua tidak sama tanpa kamu di...

SEPEDA

Dari kecil, aku suka sepeda, Teman setia ke mana saja. Tak perlu bensin, tak perlu biaya, Hanya aku dan jalan yang terbuka. Sayang, waktu beranjak dewasa, Sepeda pun tinggal cerita. Di kota baru, langkah menggantinya, Berjalan kaki jadi biasa. Liburan tiba, aku kembali, Menyusuri kota yang damai sekali. Udara segar, polusi tak berarti, Ah, kapan lagi bisa begini? Sepeda impian selalu kunanti, Tapi entah kenapa tak kunjung terbeli. Padahal menabung sedikit demi sedikit tiap hari, Entah kapan kupunya, nanti. Namun aku sadar satu perkara, Sepeda kini bukan untuk semua. Orang bertanya-tanya, “Kenapa?” “Naik sepeda? Apa tak punya kendaraan lainnya?” Mereka lupa, sepeda tak cuma roda, Ia adalah jalan ke dunia yang lebih lega. Lebih sehat, lebih sederhana, Dan semua pun berterima kasih padanya. Bayangkan bila banyak yang sadar, Mengayuh sepeda di jalanan besar. Tanpa asap, tanpa bising yang gentar, Lingkungan tersenyum, udara pun segar. Tapi, aku tahu, ini tak mudah, Dunia seringkali terjebak...