MENATAP DENYUT SENI DAN KEHIDUPAN DI KOTA KENANGAN

Pukul 9, Jan 21, 2010 aku berjalan di sepanjang Malioboro. Para pedagang baru saja membuka kios, merapikan dagangan, dan memulai aktivitas hariannya.

Terus kutelusuri jalan. Kulihat berbagai suasana mengharukan, bukti cinta dan pengabdian pada seni dan kehidupan. Seorang pedagang pigura memotong kayu perlahan sambil memoles cat dengan jari-jarinya yang keriput, seorang pelukis jalanan termenung memandang hasil karyanya.

Seorang ibu-ibu penjual kaca membersihkan dagangannya hingga mengkilap, penjual poster terdiam menatap sebagian barang dagangannya yang cacat dan rusak terkena hujan.

Di seberang jalan, anak-anak sekolah riang gembira menyambut hari, bersama menuju Taman Pintar bersama guru mereka. Sementara kendaraan-kendaraan bermotor mulai memadati jalan raya, petugas kebersihan menyelesaikan tugasnya, loper koran dan pedagang asongan mulai bekerja. Semua berjibaku demi penghidupannya.

Betapa miris hati ini menatap sebagian barang dagangan yang hancur, pandangan para pedagang yang sendu, namun tetap terdapat secercah keoptimisan (atau keterpaksaan?) untuk terus berjuang. Sementara aku, terduduk disini bersama diriku, terdiam merenung.

Melewati ‘shopping’, pasar buku terbesar di Jogja, kulihat buku-buku dirapikan, tawar-menawar mulai berjalan, pembeli berdatangan.
Denyut nadi seni begitu terasa disini, terus tumbuh, perlahan, mekar. Sungguh indah.
Kulihat sesosok bapak tua menggenjot becak penuh barang dengan susah payah. Butir-butir keringat satu persatu menetes di wajah dan sekujur badannya. Kadang terdiam memikirkan keluarga di rumah, yang menanti sesuap nasi penyambung hidup darinya. Dikuat-kuatkan kakinya, mengerahkan segenap daya upaya.

Bahkan ibu-ibu tua yang selayaknya beristirahat tenang di rumah menikmati jerih payahnya, justru banyak kulihat di pinggir jalan. Bukan! Bukan sama sekali mereka menadahkan tangan mengharap bantuan, mereka justru terduduk di trotoar menawarkan dagangan. Bawang merah, bawang putih, dan sedikit sayuran. Mereka tetap berjuang demi kehidupan. Tak hanya mengeluh dan meratapi jeratnya yang mematikan, namun menghadapinya dengan senyuman dan perjuangan! Sendiri memikul karung dagangan di pundak, tertatih-tatih membawanya menuju lahan berdagang, tak menghentikan untuk sejenak bertegur sapa, membagi pelajaran kesyukuran atas kehidupan.

Tiga bapak renta di ujung jalan bersama mengangkut gerobak berisi dagangan. Berkali-kali mengusap keringat di wajahnya, namun terus berjuang. Lagi-lagi, berjuang demi kehidupan.

Di Pasar Beringharjo..
Kios-kios, pegawai, berlomba mempromosikan dagangan. Sepatu, perhiasan, batik, jilbab, pakaian jadi, dan berbagai benda lain dijual dengan harga terjangkau. Pasar sentra Jogja ini telah menjelma begitu ramai dalam sekejap.

Dengan antusias kulihat penjual bunga, merangkai satu persatu bunga dagangannya hingga membentuk mahkota, bando, dan rangkaian lain. Semerbak wangi memenuhi penciumanku. Suasana begitu tenang dan damai. Suasana yang selalu kurasakan setiap perjalananku kemari.

Belum lagi penjual payung, cincin, kalung nama buatan sendiri, penato badan, kerajinan tangan yang bermacam-macam, semakin menambah rasa kagumku pada kota ini. Persaingan antar pedagang tak menghilangkan tali silaturahim antara mereka. Satu sama lain menatap ke depan dengan senyuman terukir di bibir.

Benar-benar mental peminta-minta tak menjamur disini. Orang lebih memilih berjualan apa saja dengan hasil apa adanya, ketimbang mengemis dengan modal belas kasihan sesama.

Maka teruntuk semua pedagang di sepanjang jalan Malioboro, Pasar Beringharjo, yang telah berjuang keras setiap hari, kuhaturkan penghormatan setinggi-tingginya. Atas senyum dalam memulai hari, kebahagiaan-kebahagiaan yang anda beri, kesadaran akan hakikat diri, pemaknaan akan seni, perjuangan, dan kehidupan, yang kini telah mewarnai langkahku. Semoga rasa syukur takkan berhenti.

(sebuah napak tilas sejenak, di jalan perjuangan.. di kota kenangan..) 

Komentar

Baca Tulisan Aisyah El Zahra Lainnya

SEROJA

GELAP

SURAT (3)