TERMINAL TAWANG ALUN JEMBER

Tawangalun, pukul 01.00..
Suara petikan gitar terdengar nyaring, diiringi pekikan lagu riang di pojok emperan. Sekelompok remaja menahan dingin melawan kantuk dengan bernyanyi dan berjoget riang.
Pusat keramaian masih tetap, berjuang dengan teriakannya mencari penumpang. Tak bosan dan menyerah kalah pada lelah meski peluh deras membanjiri sekujur badan.
Seorang diri, aku, perlahan menyusuri jalan lengang. Diikuti tatapan heran berpuluh orang, yang tak kupedulikan. Biar, biar aku menepis kebiasaan.
Di sepanjang dudukan, belasan tubuh terlentang. Menggemeletukkan gigi kedinginan. Barang apa pun dijadikan selimut menutupi badan. Sebagiannya pedagang asongan, atau penumpang yang kemalaman. Lagi, aku sendiri terduduk heran, dirayapi kesadaran yang menguat perlahan. 
Kembali melangkah, sekali dua kali ditanya, hendak kemana. Tidak, tak hendak aku beranjak.
Segera kucari musholla, sekedar tempat berteduh melepas lelah. Kutemukan di pojok seberang sana, dengan gembira kudatangi.

Pukul 02.00..
Aku terdiam merenung di depan musholla. Kehidupan sejenak bagai berhenti. Pukul dua dini hari, inilah antiklimaks itu, pikirku.

Pukul 03.00..
Rasa kantuk mulai melingkupi. Kurebahkan badan di atas sajadah terhampar. Kupeluk tas erat-erat, menjaganya bagai bayi dalam kandungan. Semenit, dua menit, hingga sejenak yang tak kutahu, sesosok duduk di hadapanku, mengamati. Aku terlonjak bangun, dengan panik merapikan diri, saat menyadari bahwa ia lelaki! Segera aku keluar dari musholla, mengamankan diri. Di tengah kumpulan aku berbaur, kembali kupejamkan mata, melanjutkan lelap yang terganggu. Saat kemudian kutolehkan wajah, kembali sosok itu kutemui, meletakkan badan di sampingku, dekaaatt sekali! Aku segera bangkit, menghindarkan diri, menuju kamar mandi.
Tok tok.. ketukan di pintu mengagetkanku. “Mbak, butuh sabun untuk mandi?” aku mengereyit heran. Kusampaikan penolakanku. Namun suara tanpa sosok itu terus memaksa. Kusegerakan bersuci, lalu keluar ingin tahu siapa yang mengetukku. Hampir kuterlonjak lagi, saat melihat, lelaki itu lagi! “Butuh sabun?” kembali ia bertanya. Aku menggeleng kuat, sampai sakit rasanya leherku. Kulirikkan mataku pada penjaga ponten, mengajukan protes tanpa kata, dan ia hanya menggeleng. “Sudah biasa..” katanya pelan. Segera aku mengerti. Allah.. begitu rupanya.

Pukul 04.00..
Adzan subuh berkumandang. Kuluruhkan tubuh di atas sajadah, merasa begitu kecil dan tak berarti. Rasa syukur membuncah, begitu dalam dan merekah. Kembali, kurasakan berkah itu. Terima kasih, Allah. Kau bisikkan lagi padaku kesadaran itu.

(secercah kenangan, di malam itu)

Komentar

Baca Tulisan Aisyah El Zahra Lainnya

SEROJA

GELAP

SURAT (3)