Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

AKU

Ada seseorang yang padanya, aku ingin sekali berterima kasih. Darinya aku belajar, bahwa menulis itu mudah sekali. Seperti curhat pada diri sendiri. Pak Hernowo namanya, seorang dengan banyak tulisan dan cita-cita mulia. Buku pertama beliau yang aku baca adalah ‘Mengikat Makna’. Kemudian ‘Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza’, dan banyak lagi lainnya. Semuanya indah. Disajikan dengan menarik sekali. Mudah dipahami. Aku bersyukur telah berkenalan dengan beliau ini. Sedikit banyak, gaya tulisanku terpengaruh ajaran Pak Hernowo tentang menulis. Tulisanku hampir selalu dimulai dengan ‘Aku’. Bila materi tulisan serius dan ditujukan untuk pembaca formal, aku akan menggantinya dengan ‘Saya’. Tapi tetap saja, berasal dari sudut pandang orang pertama. Cara itu amat mempengaruhiku. Menulis jadi mudah, sebab bagai sedang bercerita. Aku begini, dan aku begitu. Kisah yang kusampaikan pada diri sendiri. Tak peduli apakah orang lain membacanya atau tidak, aku sendiri menikmatinya. Kenanganku ...

SEPEDA

Aku suka naik sepeda dari dulu. Habisnya seru. Tidak usah capek capek, bisa kemana-mana. Sekalian olahraga juga. Jadi, selain jalan-jalan dan menulis, naik sepeda itu hobiku nomor tiga. Tapi, sejak sekolah di luar kota, aku tidak bisa lagi naik sepeda. Selain tidak ada di sana, aku juga jadi   lebih biasa jalan kaki saat pergi-pergi. Sampai sepuluh tahun kemudian, aku cuma bersepeda saat pulang ke rumah. Entah, kenapa tidak terpikir untuk beli sepeda saat kuliah. Kupikir-pikir lagi, dengan sedikit menabung aku pasti bisa melakukannya, tapi ya sudahlah. Intinya, sampai sekarang, meski hobi bersepeda aku belum pernah memilikinya. Setiap liburan, aku senang sekali. Bisa bersepeda ke sana ke sini, apalagi kotaku adalah kota nyaman yang nyaris tak berpolusi. Kubayangkan, nanti saat punya sepeda, aku takkan lagi menyumbang lubang di lapisan bumi. Aku juga lebih mudah membakar kalori. Tak seperti sekarang, dengan sadar aku merusak dunia dan tubuhku sendiri. Menggunaan kendaraan b...

PERMATA

“Cincin baru lagi, Cha ?” Pandangan iri jelas terpancar. “Iya tuh, gak tahu deh Mas Rio, sukanya beli-beli, ngasih-ngasih kayak gini tiap hari.” Icha mengibaskan ujung jilbabnya yang menjuntai. “Padahal aku sudah bilang gak usah, tapi tetap aja...” “Harusnya kamu bersyukur, Cha. Udah untung punya suami romantis perhatian kayak gitu, malah kamu cuekin setengah mati.” Ina menyeruput kopi panasnya. “Lihat suamiku..” Ia mendesah panjang. “Pulangnya selalu malam, jarang ngobrol, pagi ketemu sebentar, eh sudah menghilang lagi. Tiap hari kayak gitu. Emang sih uang bulanan banyak, tapi kan.. Aku juga pengen disayang-sayang...” Icha menatap ujung sepatunya. “Mas Rio, luar biasa sih, Na. Tapi kadang, aku merasa terbebani juga. Aku kan sering gak peka, jadi suka merasa bersalah sama dia..” “Udahlah, Cha, nikmati saja.. Mumpung masih ada..” Mereka tergelak bersama. *** “Mas, aku pulang,” Icha menyampirkan tas di atas sofa. “Ngobrol apa saja, tadi?” Ditatapnya Rio, suaminya...

KATA

Sudah agak lama sejak aku mulai membuat judul hanya dengan satu buah kata. Aku lupa awalnya kenapa, tapi kalau tidak salah, itu karena aku ingin membuat tulisanku berbeda. Meski dengan judul yang hanya satu kata, aku tahu kadang pembaca sulit menemukan kaitannya. Biasanya aku mengambil satu kata inti dari konten yang pertama terlintas di benakku, lalu jadilah itu judul tulisanku. Aku merasa, tulisanku punya nyawa. Walaupun lama tak kubaca, aku bisa mengenali tulisan-tulisanku dimana-mana. Meski demikian, ada satu yang masih membuatku bingung. Judul tulisan.  Ada beberapa penulis yang hanya dari judulnya saja, sudah bisa dikenal. Sebab itu ciri khasnya. Dan aku, ingin seperti itu. Hanya dengan membaca judul dan satu kalimat pertamanya saja, aku berharap pembaca tahu bahwa itu aku. Bukan yang lainnya. Dengan begitu, tulisanku akan bisa menjaga dirinya sendiri. Dari salin tempel. Dari plagiasi dan semacamnya. Maka setelah melahirkan banyak tulisan, aku akan tetap tenang. Ta...

IBU

Jakarta, 20 Maret 2003. Ibuku gak keren. Super duper gak keren. Dia selalu aja menyalahkanku. Bilang ini itu, aku bosen dengernya. Aku pengen punya ibu kayak yang lainnya. Yang ngerti bahasa Inggris dan gak pernah marah. Jakarta, 23 Maret 2003. Hari ini ibuku marah-marah lagi. Katanya aku malas lah. Cengeng lah. Hhh.. ada saja deh ibuku tuh. Gak liat apa, anak lainnya. Aku tuh kurang apa. Udah cakep, pinter, gak pernah foya-foya. Tapi tetep aja marah-marah. Gak capek apa. Jakarta, 24 Maret 2003. Baru kemarin marah, hari ini ibu ngusir aku dari rumah. Sambil nangis-nangis lagi. Gara-gara aku bilang, bakal aku ganti semua biaya yang ibu keluarin untuk ngidupin dan nyekolahin aku selama ini. Lagian aku tuh g pernah sempurna di mata ibu. Ada aja salahku. Sebel banget tauk. Ya udah aku pergi aja, nginep di pinggir jalan tengah kota. Jakarta, 26 Maret 2003. Aku mau pergi aja. Gak betah di sini. Pergi jauh dan g usah kembali. Biar aja ibu sendiri. Lagian, ibu sama aku tuh ...

KITA

Kita bukan pasangan yang sempurna Kau adalah kamu, dan saya adalah aku Kita sangat berbeda Tapi entah kenapa, kita tak bisa berpisah Selalu ada rindu Menyentak di relung kalbu Aku rindu hangatmu, kadang teguranmu Kau bilang, kau rindu percikanku Lalu sekali waktu, kita saling marah Aku egois, dan kau lelah Namun tak lama, pasti ada saja Yang kembali menyatukan hati Retak itu tak ada lagi Dan saat musim semi, bunga-bunga Bermekaran kembali Merekah Aku heran, apakah Dulunya saat diciptakan Kita sempat saling melihat Lalu berjanji mengikat rasa Saat sampai di dunia? Karena celah yang ada Di antara kita Bagai jigsaw sempurna Satu Yang terbentuk dari dua

PERGI

“Saya terima nikahnya...” Suasana syahdu. Tangan menengadah. Semua berdoa ke hadirat-Nya. Memohon yang terbaik bagi keduanya. Di sudut kanan, seorang gadis menitikkan air mata. Ia terharu. Kini seorang pria telah menikahinya. Kehidupan baru menyongsong. *** “Kamu gimana, sih? Masak begini saja gak bisa?” Pintu dihempas. Sang gadis mengerutkan badan di samping jendela. Lelakinya marah. Untuk pertama kalinya. *** “Kemarin kamu bilang apa saja, sampai mereka salah paham!” suaranya kembali meninggi. “Aku.. aku cuma...” “Alah, alasan saja kamu. Sukanya ngomong aneh-aneh, kamu tidak mikir apa pandangan mereka terhadapku? Kamu cuma mikir diri sendiri bisanya,” lelaki itu pergi. Meninggalkan gadis berwajah pucat itu sendiri. Lagi. *** “Bagaimana kabarmu, Cha? Pasti bahagia, pengantin baru...” gelak tawa terdengar dari ujung telepon yang digenggamnya. Sang gadis terbata, “I..iya... Alhamdulillah..” Disekanya air mata yang membanjir seketika. *** Dulu, lelaki it...

SEMBILU

Sembilu menikam hati Darah merah memecah Ia membelah Sembilu tertawa tampakkan taringnya Topeng kesucian dikenakannya Hati menangis, meronta Sembilu tak lepaskan dirinya Hati makin terluka Tapi semua anggap sembilu tak berdosa Sembilu menyeringai di balik topeng Liat.. jahat... Hati perlahan hancur, binasa

SAHABAT

Aku sulit mengungkapkan perasaan. Itu karena, di tempat di mana aku dibesarkan... ah, entahlah. Kami bukan keluarga yang saling memeluk satu sama lain untuk membagi kehangatan, atau mengucap cinta dan sayang terang-terangan, apalagi menangis bersama karena suatu kejadian. Aku tak tahu apa ini hanya perasaanku saja, tapi aku merasa dituntut untuk menutup perasaan. Akan banyak salah paham bila aku ingin jujur akan apa yang sedang berselang.    Padahal, aku pribadi merasa aku adalah orang yang sangat ekspresif. Terbahak-bahak saat bahagia, menangis tersedu ketika berduka. Tapi aku tak bisa melakukannya di rumah. Aku akan dianggap melenceng dan aneh, sebab beda dari lainnya. Aku tak tahu, mungkin karena aku tak pernah mencoba. Semua saudaraku laki-laki, mereka tak sepenuhnya mengerti. Aku bersikap seperti pria, itu lebih mudah. Maka aku sayang sekali pada sahabat-sahabatku, mereka tempat curhatku yang tak pernah lelah. Apalagi men-judgeku ini itu. Mereka hanya di...