MALU
Ada saatnya aku merasa ingin menghilang. Bukan karena lelah menghadapi dunia, tapi karena pandangan orang yang terasa begitu menusuk. Diagnosis itu—depresi. Kata yang terdengar seperti vonis akhir bagi banyak orang. Ketika aku pertama kali harus mengunjungi poli jiwa, rasanya seperti membawa beban berat di pundakku, meski langkahku hanya menuju ruangan kecil dengan pintu bertuliskan Konsultasi Psikiatri.
“Malu,” bisik hatiku, berkali-kali, seperti mantra yang tak henti terulang. Pandangan orang-orang di ruang tunggu terasa seperti sorotan lampu tajam yang menguliti diriku. Mereka mungkin bertanya dalam hati, Apa yang salah dengannya? Kenapa dia ada di sana? Dan aku? Aku sendiri tak tahu apa yang salah. Yang aku tahu hanyalah bahwa aku lelah.
Hari-hari setelah itu, hidupku berubah. Obat-obatan yang harus kuminum beberapa kali setiap hari, sesi terapi yang harus kujalani secara rutin, dan rasa cemas yang tak pernah benar-benar hilang. Di luar, aku mencoba tersenyum. Tapi di dalam, ada suara yang terus bertanya, Apa yang akan orang lain pikirkan jika mereka tahu?
Rasa malu itu tak berhenti di situ. Ia merambat hingga ke ruang yang paling pribadi—ibadahku. Aku mulai merasa bahwa aku tak pantas lagi berbicara dengan Allah. Bagaimana mungkin aku mengangkat tangan, memohon kekuatan, sementara aku tak cukup kuat bahkan untuk diriku sendiri? Bagaimana mungkin aku bersujud, memohon ampun, sementara pikiranku terus memberontak?
Malam-malamku menjadi sunyi. Doa yang dulu mengalir lancar kini terhenti di ujung bibir. Aku merasa kecil, hina, seakan diagnosis itu adalah tanda kegagalanku sebagai manusia, sebagai hamba.
Namun di tengah semua itu, ada momen yang mengubah segalanya. Di ruang terapi, psikiaterku berkata dengan lembut, “Kamu tahu, bahkan Nabi Muhammad pernah bersedih. Bahkan beliau pernah memohon kekuatan kepada Allah di saat-saat sulit. Itu bukan tanda kelemahan, tapi tanda bahwa kita manusia biasa.”
Kata-kata itu menghantamku seperti kilat. Aku manusia. Aku boleh lemah. Dan justru dalam kelemahan itu, aku bisa mendekat kepada-Nya.
Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku duduk di atas sajadahku. Air mata mengalir sebelum kata-kata keluar. “Ya Allah, aku malu… tapi aku rindu…” Hanya itu yang mampu aku ucapkan. Namun di balik kalimat sederhana itu, ada luapan perasaan yang selama ini kupendam.
Hari-hari berikutnya, aku belajar menerima bahwa hidup dengan depresi bukanlah tanda kekurangan iman, melainkan bagian dari ujian yang Allah berikan. Obat-obatan, terapi, bahkan poli jiwa, adalah bentuk kasih sayang-Nya meski sulit dimengerti.
Sekarang, di setiap langkah menuju ruang terapi atau apotek, aku tidak lagi merasa malu. Aku merasa bersyukur. Karena di tengah semua rasa sakit, Allah memberiku cara untuk bertahan. Dan yang lebih penting, Dia memberiku jalan untuk kembali kepada-Nya.
Doaku mungkin belum sempurna, tapi aku tahu, Allah Maha Mendengar. Dan itu cukup bagiku untuk terus melangkah, meski perlahan, menuju cahaya yang telah lama aku rindukan.
Komentar