BAYANG
Senja itu datang seperti biasa, membawa warna jingga yang berbaur dengan kegelapan. Tapi di mataku, senja terasa hampa, seakan kehilangan makna yang dulu kupuja. Di tengah keramaian dunia, aku merasa asing dan terbuang. Kehidupan terus berjalan, tetapi langkahku tertahan, tenggelam dalam lautan pikiran yang tiada habisnya.
Depresi bukanlah sekadar sedih yang berlalu begitu saja. Ia datang tanpa permisi, seperti bayangan yang perlahan merayap, mengaburkan cahaya di sekitarku. Setiap pagi menjadi perjuangan, dan setiap malam terasa seperti pertempuran tanpa akhir. Aku ingin berbicara, tetapi kata-kata selalu menghilang sebelum sempat keluar.
Hari itu, aku duduk di tepi jendela, memandangi langit yang muram. "Kenapa aku seperti ini?" tanyaku pada diriku sendiri, tetapi, tak ada jawaban. Yang ada hanyalah kekosongan, keheningan, dan beribu pikiran yang berulang-ulang menghantam keyakinanku.
Di antara bayang-bayang itu, ada sesuatu yang menahan. Entah doa yang tak pernah kuucap, atau harapan kecil yang masih bertahan. Tiba-tiba saja, aku mengingat percakapan dengan seorang teman lama.
“Kegelapan mungkin terasa abadi,” katanya suatu ketika, “tapi percayalah, bahkan di dalamnya, ada cahaya kecil yang menunggu untuk ditemukan.”
Aku terdiam lama mengingat kata-katanya. Mungkin ia benar. Mungkin, di tengah kehancuran ini, aku hanya perlu menemukan satu alasan untuk bangkit. Tidak untuk orang lain, tetapi untuk diriku sendiri.
Malam itu, aku mulai menulis. Tanganku sakit, kaku, dan gemetar, tetapi aku terus menorehkan kata-kata yang mengalir dari hatiku. Tentang rasa sakit, tentang ketakutan, tentang harapan yang nyaris padam. Aku menulis bukan untuk siapa-siapa, tetapi untuk diriku sendiri, untuk mengingatkan bahwa aku masih di sini, bahwa aku masih memiliki kekuatan untuk melawan semua ini.
Hari-hari berikutnya tidak serta-merta menjadi mudah. Depresi tidak hilang hanya karena aku menginginkannya. Tapi perlahan, aku mulai menyadari hal-hal kecil yang sebelumnya kunafikan. Langit biru di pagi hari, secangkir teh hangat, suara burung yang bernyanyi di luar jendela. Semua itu mengingatkanku bahwa hidup masih menawarkan secercah keindahan.
Dan di suatu senja, aku duduk kembali di tepi jendela. Jingga itu terasa berbeda. Kali ini, ia membawa setitik asa. Mungkin belum cukup besar untuk menghapus semua bayangan, namun cukup untuk mengingatkan bahwa aku tidak sendirian.
"Ya Allah," bisikku dalam hati, "terima kasih karena Kau tidak membiarkanku jatuh sepenuhnya. Bimbing aku untuk menemukan cahaya-Mu, walau harus kutemukan perlahan selangkah demi selangkah."
Depresi masih ada, tapi aku tahu, aku pun begitu. Dan selama aku masih di sini, harapan untuk hari esok, masih bisa kucari.
Komentar