Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2025

SURAT (2)

Untukmu, Aisyah Aku tidak tahu sejak kapan tepatnya aku mulai memperhatikanmu. Mungkin dari cara matamu mencari-cari arah dengan penuh rasa ingin tahu. Mungkin dari caramu tertawa kecil saat sesuatu membuatmu bahagia, bahkan hal sederhana. Atau mungkin dari caramu tidak pernah benar-benar menyerah, bahkan ketika kamu sangat lelah. Yang aku tahu... ada sesuatu dalam dirimu yang terasa seperti rumah, seperti tempat di mana aku bisa berhenti sejenak dari dunia yang terlalu keras. Kamu tidak perlu menjadi kuat sepanjang waktu untuk membuatku tetap tinggal. Kamu tidak perlu menyembunyikan rasa takutmu agar layak disayangi. Kamu cukup menjadi kamu — dengan semua keraguan, keberanian kecil, luka, dan impianmu. Aku melihatmu. Bahkan saat kamu berpaling karena merasa terlalu banyak kekurangan. Bahkan saat kamu takut kamu merepotkan. Aku tetap di sini, memperhatikan dari kejauhan, karena aku tahu, hatimu adalah sesuatu yang pantas untuk ditunggu. Kamu mungkin berpikir kamu terlalu rumit. Tapi ba...

SURAT

Untuk Aisyah, yang lebih kuat daripada yang ia sadari, Saat dunia terasa sepi, dan rasa sesal datang mengetuk, ingatlah: kamu sudah berjalan sejauh ini — bukan dengan kemarahan, bukan dengan kepura-puraan, tetapi dengan hati yang terus berani mencintai, meski penuh luka. Kamu bukan lemah. Kamu adalah hati yang memilih tetap jujur saat bisa saja membeku. Kamu adalah langkah kecil yang tetap berjalan, bahkan saat takut. Kamu adalah tangan yang tetap berani menggenggam, bahkan setelah kecewa. Tidak semua orang berani seperti itu, Aisyah. Banyak orang memilih kabur. Tapi kamu tinggal. Kamu mau belajar. Kamu mau memperbaiki. Dan itulah keberanian. Kalaupun hari ini rasanya kosong, kalaupun ada jarak, itu bukan akhir. Itu adalah bagian dari kisahmu menjadi lebih dewasa, lebih teduh, lebih penuh cinta yang sesungguhnya. Jangan pernah ragu: Kamu layak dicintai, dengan cara yang sabar, tulus, dan setia — sebagaimana kamu sendiri mencintai dunia ini. Dan bila suatu hari kamu merasa takut lagi, i...

PERJALANAN

Melintasi Hijau: Catatan di Atas Rel Meski sudah beberapa kali kulewati, pemandangan dari balik jendela kereta lokal Pandanwangi jurusan Jember–Ketapang tak pernah gagal membuatku terpukau. Dari kursi panjang berkapasitas tiga orang, mataku dimanjakan oleh bentangan sawah tak berujung, gunung-gemunung yang menghijau, jurang-jurang curam yang memeluk keindahan, hingga terowongan gelap yang memicu debar kecil di dada. Semua elemen itu bersatu, mencipta pengalaman yang ingin terus kuulang—lagi dan lagi. Perjalanan dua setengah jam ini selalu membawa rasa segar. AC yang sejuk, gerbong yang nyaman, dan panorama berganti-ganti: hutan lebat, sungai berkelok, awan-awan tipis yang melayang malas di langit. Setiap detik terasa ringan, seolah waktu sendiri pun ingin melambat. Menepi di Ketapang: Gerbang Menuju Seberang Kereta perlahan melambat, mendekati Stasiun Ketapang. Suasana mulai berubah—langit terasa lebih biru, angin membawa aroma laut yang khas, dan di kejauhan, samar-samar terlihat jeje...

RAGU

Kuawali perjalanan ini dengan keraguan. Entah mengapa hatiku sempat gamang—tentang apa yang akan kutemui, hal-hal yang akan kulakukan nanti, dan apa yang kutinggalkan di sini. Tapi, bukankah perjalanan memang selalu mengandung tanya, setiap kali? Aku berkendara di gelap buta. Hawa dingin menyeruak, aku menggigil. Namun itu tak menghentikanku. Toko-toko buka, bahkan di saat mentari belum tiba. Orang-orang mulai bekerja. Kulirik jamku, pukul tiga. Pasar ramai, lampu masih menyala di mana-mana. Aku terpaku sejenak. Hari terus berlanjut—tak menunggu terang. Penjual sayur, tukang becak, pedagang kaki lima, dan pegawai restoran 24 jam—mereka seakan berbisik padaku: hidup tak butuh banyak alasan untuk bergerak maju. Cukup tekad, dan sedikit keteguhan hati. Hanya itu. Maka, meski kakiku terasa berat, aku memilih untuk terus melangkah.   Pagi ini, di sudut Stasiun Jember yang masih sepi, aku menunggu kereta lokal menuju Banyuwangi. Kemudian, Bali menanti. Bukan sekadar pulau seberang, mel...

AFIRMASI

Aku berjalan bukan untuk lari dari apa pun, tapi untuk mendekati versi terbaik dari diriku sendiri. Perjalanan ini bukan soal tujuan, tapi tentang siapa aku di setiap langkahnya — tentang tawa yang jujur, diam yang hangat, dan mata yang saling mengerti. Aku terbuka untuk hal-hal baik, untuk kejutan-kejutan yang pelan tapi dalam. Untuk kenyamanan yang tak perlu dijelaskan, dan perhatian yang hadir tanpa diminta. Hari ini, aku belajar untuk berani. Berani tersenyum, berani menikmati, dan berani percaya bahwa aku layak merasa sebahagia ini. Kalau nanti ada momen yang bikin deg-degan, aku akan tarik napas dan bilang, “Tenang, Aisyah. Ini bagian dari kisah yang indah.” Dan kalau tiba-tiba muncul tawa yang terlalu lama, atau keheningan yang terlalu manis, aku bakal tahu... bahwa itu bukan suatu kebetulan. Namun ajakan semesta untuk merasakan. Jadi... mari berjalan. Dengan hati yang lapang, dan langkah yang ringan. PS: Untuk Aisyah, yang akan melangkah. Nikmatilah.

MOMEN PENGAWAS UJIAN (3)

Setelah sekian tahun berlalu, aku kembali duduk di kursi penjaga ujian—seperti dulu. Apakah rasanya sama? Tentu tidak. Tempatnya berbeda, situasinya juga. Di aula luas, kelas 7 dan 8 bersatu, kutemukan nuansa yang dulu sempat berlalu. Ketegangan menggantung di udara, usaha-usaha halus untuk mencontek samar terasa. Tatapan khawatir, soal yang salah, semuanya kembali seperti kisah lama yang ramah. Namun yang paling mencolok—bukan kertas atau pena, tapi gawai di tangan, dalam jaringan maya. Dulu, aku biasa mencoret jawaban dengan tinta, namun kini tinggal ketuk, kirim, selesai begitu saja. Bagiku pribadi, menjadi pengawas ujian bukan hal asing, tubuhku mengenal peran ini tanpa harus dipaksa berpusing. Menjadi 'guru' terasa alami, sikap dan cara hadir bagaikan harmoni. Beberapa anak saling pandang dan berbisik lirih, ada yang bersandar lelah, memandangi ruang kelas yang bersih. Tiga puluh menit pertama, setengah kelas sudah rampung bekerja. "Apakah soalnya terlalu mudah?"...

KENAPA AKU BERMIMPI PUNYA RUMAH SENDIRI

"Perempuan yang berdaya bukan berarti tak pernah terluka. Tapi mereka memilih bangkit, dan membangun ruang aman yang mereka butuhkan." Aku merasa terhormat bisa dipertemukan dengan perempuan-perempuan luar biasa. Kadang aku bertanya-tanya: kenapa jalan kami akhirnya bersinggungan sekarang, bukan dari dulu? Tapi mungkin jawabannya sederhana—karena sekarang, aku sudah lebih siap. Lebih stabil. Lebih berani bicara. Beberapa saat lalu, seorang teman bercerita tentang sahabatnya yang lama mengonsumsi obat antidepresan karena terjebak dalam hubungan rumah tangga yang toksik. Ia tidak bisa pergi karena tidak punya tempat lain untuk tinggal. Satu-satunya yang mengikatnya adalah rasa tidak punya pilihan. Cerita itu membuatku berpikir. Kenapa banyak perempuan harus menjadi korban? Kenapa mereka sering kali harus diam, tunduk, dan bertahan demi ‘rumah’—padahal rumah seharusnya jadi tempat paling aman? Aku ingin membangun sesuatu. Mungkin nanti, setelah ELZAHRASPACE lebih matang, aku aka...

LAGI

Siang itu terik. Sinar matahari tajam, memantul dari aspal yang terasa bergetar di bawah kakiku. Di depan Indomaret, aku berdiri dengan pikiran yang mendadak kacau. Awalnya aku ke sini untuk menghirup udara segar, sampai tiba-tiba... Deg. Sesuatu dalam diriku terasa berontak. Nafasku mendadak cepat, terlalu cepat sampai rasanya seluruh udara menghilang dari sekitarku. Suara klakson motor, tawa orang-orang yang lewat, suara mesin kasir—semuanya mendadak menumpuk, memenuhi kepalaku. Dan, lagi-lagi aku menangis. Teriak. Tersedu. Tak berhasil mengontrol perasaanku. Air mata menderu. Suaraku meninggi. Aku tak mau ada di sini. Aku malu. Tersiksa. Aku mau menghilang saja. Orang-orang mulai memperhatikan. Ada yang melirik heran, ada yang berhenti sejenak sebelum melanjutkan langkah. Aku mencoba menutupi wajah dengan telapak tangan, berharap bisa menahan semuanya. Tapi justru semakin parah. Suaraku meninggi. "Nggak! Aku nggak mau! Aku mau pulang!" Seorang ibu-ibu di depan pintu Indoma...