Postingan

AKU ADALAH PRODUK KAPITALISME

Gambar
Banyak kelompok mengelu-elukan, 'Ganyang Kapitalisme!!!' dalam demonstrasi dan aksi unjuk rasa mereka. Hal yang sudah biasa kita dengar. Namun sesungguhnya, benarkah pemahaman kita akan kapitalisme selama ini? Aku sendiri, baru benar-benar menyadari rasa ngeri yang mengancam dari sebuah kata yang begitu sering kita dengar, 'kapitalisme', setelah mengikuti sekolah filsafafat ini. Sesungguhnya kapitalisme telah menyatu erat dengan tiap diri kita, mengalir bersama darah pada nadi, berjalan seiring pemikiran kita, mulai bangun tidur hingga kembali ke kamar di malam hari. Sungguh! Tak ada waktu dimana kita tidak merefleksikan paham kapitalisme, bahkan dalam tiap tarikan napas kita. Mau bukti? Baiklah, aku akan mencoba menjelaskannya. Hal pertama yang terlintas di pikiranku saat bangun tidur adalah, dengan pasta gigi apa aku akan menggosok gigi, dan sabun muka apa yang akan kupakai. Belum lagi setelah mandi, pakaian apa yang akan menemani hariku, lalu sepatu, tas, huaaaahhh...

DI BALIK KOLONIALISME

Satu hal yang tak sepenuhnya disadari oleh penghuni bumi Nusantara—khususnya—dan oleh penduduk 80% dunia pada umumnya adalah bahwa kolonialisme bukan sekadar proyek eksploitasi, tetapi juga merupakan produk moral terbesar abad ke-15 hingga ke-19 yang lahir dari pemikiran bangsa Eropa. Bagaimana tidak? Refleksi filsafat kritisisme menyatakan bahwa kebenaran harus bersifat deterministik dan universal.   Kebenaran di sini didasarkan pada rasio dan moral, yang berarti standar ilmu pengetahuan, rasionalitas, serta moralitas di seluruh dunia diinginkan untuk seragam—tentu saja dalam bingkai standar Eropa. Immanuel Kant, sebagai penggagas utama paham ini, menginginkan dunia berada di bawah payung Eropa dalam ukuran-ukuran yang digunakan. Pada praktiknya, inilah yang menjadi landasan kolonialisme sebagai proyek "perbaikan moral" yang mencapai puncak kejayaannya di masa itu.   Sementara itu, apa yang kita pelajari dalam buku-buku sejarah selama pendidikan dasar dan menengah h...

RASIONALISME dan EMPIRISME

Seharian mengobrak-abrik kajian filsafat ternyata sungguh melelahkan. Namun anehnya, tiba-tiba semalam, semuanya tak lagi terasa menjemukan. Awalnya, saat mencoba memahami apa itu rasionalisme, apa itu empirisme, serta bagaimana pemikiran tokoh-tokohnya berkembang, rasanya pemikiran tak kunjung sampai ke dasar. Diskusi demi diskusi akhirnya menjadi jalan menuju pemahaman itu. Hhh… sungguh melegakan ketika akhirnya sampai pada titik terang.   Pembahasan dimulai dari perbedaan mendasar antara keduanya. Rasionalisme bertumpu pada akal budi, rasio, dan wahyu dari Tuhan (*a priori*), sementara empirisme menitikberatkan pengalaman indrawi (*a posteriori*), baik yang bersifat lahiriah (*sensation*) maupun batiniah (*reflection*). Dari segi metode, rasionalisme menggunakan kesangsian metodis, sedangkan empirisme lebih menekankan pada observasi dengan berbagai instrumen pengetahuan yang mendukungnya. Belum lagi jika berbicara soal metode analisis dan pengujian yang digunakan—rasionalis...

FILSAFAT

Membincang filsafat memang seperti menggali sumur tanpa dasar—gelap, dalam, dan sering kali menegangkan. Pikiran seolah tersedot ke dalam labirin pemikiran para pendahulu, menyelami hakikat segala sesuatu di sekitar kita. Kadang aku bertanya-tanya, bagaimana mungkin mereka mampu menembus kepekatan sumur hakikat itu? Betapa gigihnya mereka dalam mencari kebenaran dan pengetahuan!   Namun, tak bisa dipungkiri, problematika yang dihadapi para pecinta filsafat selalu berputar di poros yang sama. Goyahnya kepercayaan, kecenderungan untuk terus bersikap skeptis, hingga kebingungan yang tak berujung. Seakan-akan, filsafat selalu dikelilingi bayang-bayang ketidakpastian yang menakutkan. Tak heran, citra filsafat kerap dicap buruk—seolah semua yang mendalaminya pasti terperosok ke dalam jurang kekafiran atau kemurtadan. Memang, banyak yang tersandung di sana. Namun, apakah itu cukup untuk menjustifikasi bahwa filsafat identik dengan liberalisme yang kebablasan?   Lalu, bagaim...

ISLAM VS BARAT

Memang benar, sejarah gemilang Islam patut dibanggakan, tetapi apakah cukup hanya dengan berbangga diri tanpa ada upaya nyata untuk mengulang kejayaan itu? Jika kita hanya sibuk mengagungkan masa lalu tanpa membangun masa depan, maka kita tak ubahnya seperti kaum yang terjebak nostalgia, sementara dunia terus bergerak maju.   Barat, di sisi lain, terus berinovasi, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan menerapkan prinsip-prinsip yang sejatinya juga pernah menjadi bagian dari peradaban Islam: rasionalitas, etos kerja, dan semangat keilmuan. Lalu mengapa kita justru tertinggal? Apakah karena Islam yang tidak relevan, atau karena umatnya yang enggan beradaptasi dan menggali kembali khazanah keilmuan yang pernah membawa mereka ke puncak kejayaan?   Saatnya umat Islam berhenti sekadar membanggakan kejayaan nenek moyang dan mulai membuktikan bahwa Islam tetap bisa menjadi cahaya bagi dunia, bukan hanya dalam teori, tetapi dalam praktik nyata.

HUKUM ALAM

Siapa yang rajin bekerja, akan mendapatkan penghasilan lebih dari yang sebaliknya. Kata orang sih, itu hukum alam. Kamu percaya tidak? Atau kamu percaya teori bahwa harta kekayaan itu warisan turun temurun yang terus berputar siklusnya?  Kalau tidak, apakah kamu percaya kalau di dunia ini ada 3 macam klasifikasi manusia berdasarkan kekayaannya? Satu, yang miskiiiiinnnn sekali, sampai mau makan saja, susahnya setengah mati. Makan sekali dua kali sehari saja, merupakan anugerah besar bagi mereka. Di sisi lain, ada orang yang biasa-biasa aja, yah, menengah lah istilahnya. Makan 3 kali sehari, sekolah setiap hari, mengadakan perayaan setahun sekali. Nah, ini termasuk kategori hidup bagai air mengalir. Datar… saja. Kaya sekali tidak, tapi dibilang miskin juga tidak. Nah, kelompok ketiga, orang yang memiliki sebanyak atau lebih dari yang mereka inginkan. Ibaratnya, kalau mereka ingin hape baru, tinggal beli. Kamera digital, atau apapun juga tinggal beli. Mereka berada di tempat yang tin...

UNTUK AYAHKU

Kuharap, engkau takkan bosan membacanya, Ayah… Biasanya, bagi seorang anak perempuan yang beranjak dewasa, dan jauh dari orang tua.. ia akan merasa sangat rindu pada ibunya.. Lalu, bagaimana dengan ayah… Mungkin seorang ibu lebih sering menelepon untuk menanyakan keadaan setiap hari.. tapi ternyata.. Ayahlah yang selalu mengingatkan ibu untuk menelepon! Mungkin dulu sewaktu kecil, ibulah yang sering mengajakku bercerita dan mendongeng, tapi di kemudian hari aku tahu… bahwa sepulang ayah bekerja dan dengan wajah lelah, ayah selalu menanyakan pada ibu tentang kabarku dan apa yang kulakukan seharian… Pada saat aku masih seorang gadis kecil.. ayah mengajariku naik sepeda, dan setelah ayah menganggapku bisa, ayah akan melepaskan roda bantu di sepedaku.. kemudian ibu akan berkata… “Jangan dulu ayah, jangan dilepas dulu..” Kenapa? Karena ibu takut putri manisnya terjatuh lalu terluka, tapi sadarkah..?? Bahwa ayah dengan yakin akan membiarkan, menatap, dan menjagaku mengayuh sepeda dengan ...