DI BALIK KOLONIALISME
Satu hal yang tak sepenuhnya disadari oleh penghuni bumi Nusantara—khususnya—dan oleh penduduk 80% dunia pada umumnya adalah bahwa kolonialisme bukan sekadar proyek eksploitasi, tetapi juga merupakan produk moral terbesar abad ke-15 hingga ke-19 yang lahir dari pemikiran bangsa Eropa. Bagaimana tidak? Refleksi filsafat kritisisme menyatakan bahwa kebenaran harus bersifat deterministik dan universal.
Kebenaran di sini didasarkan pada rasio dan moral, yang berarti standar ilmu pengetahuan, rasionalitas, serta moralitas di seluruh dunia diinginkan untuk seragam—tentu saja dalam bingkai standar Eropa. Immanuel Kant, sebagai penggagas utama paham ini, menginginkan dunia berada di bawah payung Eropa dalam ukuran-ukuran yang digunakan. Pada praktiknya, inilah yang menjadi landasan kolonialisme sebagai proyek "perbaikan moral" yang mencapai puncak kejayaannya di masa itu.
Sementara itu, apa yang kita pelajari dalam buku-buku sejarah selama pendidikan dasar dan menengah hanya menyatakan bahwa kolonialisme adalah proyek eksploitasi ekonomi dunia. Padahal, ada hal yang jauh lebih mendasar dan sering kali luput dari perhatian, bahkan hingga saat ini: kolonialisme membawa misi penyamaan standar moral yang berlandaskan pada konsep "kebenaran."
Masalahnya, kebenaran memiliki dua kemampuan utama: menilai dan menghakimi. Dari sinilah kolonialisme menjadi sangat berbahaya, karena ternyata justru konsep kebenaran itulah yang menyebabkan kehancuran dan penderitaan yang tersebar di seluruh dunia. Dan lebih ironisnya, penderitaan itu sering kali tidak disadari oleh objeknya sendiri. Jutaan orang dieksploitasi atas nama kebenaran. Sungguh mengerikan bagaimana kenyataan yang terpampang jauh lebih menyakitkan daripada kebohongan atau ketidaktahuan yang telah mengurat akar.
Indonesia—atau lebih tepatnya, penduduknya—sama sekali tidak menyadari bahwa mereka sedang dijajah oleh pemerintah Belanda hingga munculnya para pemikir dan penggagas kemerdekaan pada akhir abad ke-19. Bagaimana hal semacam ini bisa terjadi? Itu karena proyek pemberadaban dan eksploitasi yang dibungkus kolonialisme masuk dengan begitu halus, diawali melalui perjanjian dagang, lalu berkembang menjadi kendali penuh atas politik dan sosial masyarakat.
Belum lagi jika kita membahas tokoh-tokoh yang dianggap sebagai "pahlawan"—semacam Kartini—dan karya sastra seperti *Siti Nurbaya*, yang jika dikaji lebih dalam, justru menunjukkan bagaimana propaganda kolonialisme diterima sepenuhnya oleh rakyat Indonesia saat itu.
Skenario dominasi Barat dirancang begitu canggih hingga nyaris tak terlihat, kecuali bagi mereka yang benar-benar mengkajinya secara mendalam. Pada intinya, filsafat telah menciptakan kekacauan dan *chaos* yang begitu parah di dunia. Dan filsafat? Ia sama sekali tidak pernah baik-baik saja.
Komentar