RASIONALISME dan EMPIRISME
Seharian mengobrak-abrik kajian filsafat ternyata sungguh melelahkan. Namun anehnya, tiba-tiba semalam, semuanya tak lagi terasa menjemukan. Awalnya, saat mencoba memahami apa itu rasionalisme, apa itu empirisme, serta bagaimana pemikiran tokoh-tokohnya berkembang, rasanya pemikiran tak kunjung sampai ke dasar. Diskusi demi diskusi akhirnya menjadi jalan menuju pemahaman itu. Hhh… sungguh melegakan ketika akhirnya sampai pada titik terang.
Pembahasan dimulai dari perbedaan mendasar antara keduanya. Rasionalisme bertumpu pada akal budi, rasio, dan wahyu dari Tuhan (*a priori*), sementara empirisme menitikberatkan pengalaman indrawi (*a posteriori*), baik yang bersifat lahiriah (*sensation*) maupun batiniah (*reflection*). Dari segi metode, rasionalisme menggunakan kesangsian metodis, sedangkan empirisme lebih menekankan pada observasi dengan berbagai instrumen pengetahuan yang mendukungnya. Belum lagi jika berbicara soal metode analisis dan pengujian yang digunakan—rasionalisme dengan pendekatan matematika analitisnya, sementara empirisme bersandar pada ilmu-ilmu alam.
Setelah menelaah perbedaan, ada lima poin utama yang dapat ditarik sebagai persamaan antara rasionalisme dan empirisme:
1. Sama-sama menggunakan rasio. Meskipun empirisme ngotot mempertahankan idenya bahwa pengalaman adalah dasar dari segala pengetahuan, tak bisa dimungkiri bahwa dalam proses penalarannya, rasio tetap digunakan.
2. Memiliki tujuan yang sama. Pada akhirnya, baik rasionalisme maupun empirisme memiliki tujuan yang sama: mencapai hakikat kebenaran dan pengetahuan.
3. Menggunakan metode analisis. Keduanya memiliki metode khusus dalam analisisnya—baik dalam mencapai pengetahuan maupun dalam proses pengujian terhadapnya.
4. Keduanya mengusung perubahan. Rasionalisme muncul sebagai respons terhadap dominasi dogma-dogma agama—saat itu gereja—yang mengontrol filsafat. Rene Descartes, sebagai tokoh awalnya, mengusung proyek perubahan dengan mengedepankan akal dan rasio dalam menemukan kebenaran. Begitu pula empirisme. Setelah rasionalisme berkembang luas, empirisme hadir dengan klaim bahwa ia datang untuk "memurnikan" filsafat dan memperbaiki kekurangan rasionalisme.
5. Kebenaran yang dihasilkan sama-sama menimbulkan korban. Rasionalisme, dengan metode *clear and distinct* (jelas dan berbeda), pada akhirnya menciptakan standar yang kaku. Saat kebenaran yang diyakini ditemukan, segala sesuatu yang tidak sesuai dengan standar tersebut akan dianggap salah. Sebagai contoh, dalam paradigma rasionalisme, perempuan dikatakan cantik jika memenuhi kriteria tertentu yang telah disepakati. Jika tidak sesuai dengan kriteria itu, maka dalam sudut pandang rasionalisme, jelas dianggap tidak cantik—alias salah. Tidak ada kebenaran kedua. Hal ini secara tidak langsung memarginalkan pihak yang tidak sesuai dengan standar tersebut.
Sementara itu, empirisme yang menempatkan moralitas sebagai dasar kebenaran juga berpotensi menyingkirkan pihak yang dianggap tidak bermoral. Dalam sistem yang dibangun di atas standar moral tertentu, kelompok yang dianggap tidak memenuhi kriteria moral tersebut akan terpinggirkan, bahkan bisa saja disingkirkan sepenuhnya. Hal ini dapat melahirkan pemerintahan egaliter yang justru diktator dan semena-mena terhadap kelompok yang tidak sejalan dengan konsep moral yang mereka anut.
Jelaslah bahwa kedua paham ini sama-sama menimbulkan korban. Dan inilah kritik mendasar terhadap keduanya—persamaan yang justru menjadi titik lemah masing-masing.
Komentar