Postingan

KONFLIK YANG TAK KUNJUNG BERAKHIR

Gambar
 Bulan Maret 2011 terasa sangat panas di kampus UIN Maliki Malang. Memang, sejak tahun 2008 hingga sekarang, tak ada  Pemilihan Raya Mahasiswa ( Pemira) yang tak ricuh. Tampaknya tahun ini menjadi catatan paling buruk perjalanan sejarah Pemira di kampus abu-abu ini. Pasalnya, pasca pembekuan BP2R oleh Wakil Rektor III, aksi terus saja berlangsung. Puncaknya, Jumat 18 Maret 2011, diadakan audiensi untuk menindaklanjuti pembekuan BP2R. Acara diawali dengan pembacaan surat keberatan PP atas keputusan PR3 hari sebelumnya. PP juga menyatakan dengan tegas bahwa mereka siap menyukseskan pemira UIN Maliki, dan menolak adanya politisasi konflik antar organisasi ekstra. Selanjutnya Mujaid Kumkelo memulai audiensi antar partai dan BP2R, dengan tujuan tegas menyelesaikan semua permasalahan yang telah terjadi beberapa hari terakhir ini. Ia menyatakan bahwa rektor akan mengeluarkan SK terkait pendampingan semua unsur dalam pemilu, semacam lembaga pengawas dan penindak undang-undang ...

BEHIND THE COLONIALISM

Gambar
One thing that is not correctly recognized by the inhabitants of the beloved archipelago in particular, and 80% of the world's population in general, is that colonialism was one of the greatest moral products of the 15th–19th century, created by the inhabitants of the Blue Continent, Europe. How could this be?   Reflections on the philosophy of critical thought state that truth must be deterministic and universal. Truth here is based on reason and morality, which means that the fundamental standards of knowledge, truth, reason, and morality in the world were intended to be uniform. Immanuel Kant, as the initiator of this understanding, wanted the whole world to be under the umbrella of the standards used in Europe. In practice, this is what led to colonialism, as a product of moral improvement, when it reached its peak.   Although we learned from history books in primary and secondary education that colonialism was merely a product of world exploitation, the m...

I AM A PRODUCT OF CAPITALISM

Gambar
Many groups cheered, “Stop capitalism!!” in their demonstrations. It is something we commonly hear. But the real question is, what is our understanding of capitalism during this?   I myself only became truly aware of the terror that lurks behind a word we so often hear— capitalism —after attending a philosophy school.   In fact, capitalism has been closely integrated with each of us, flowing through our veins like blood, running alongside our thoughts from the moment we get out of bed until we return to our rooms at night. Really! There is no moment where we do not, even unconsciously, reflect on capitalism—even in our every breath.   Want proof?   Well, I’ll be honest. The first thing that crosses my mind when I wake up is: which toothpaste should I use to brush my teeth, and what kind of facial foam should I apply? Then, after a bath, what clothes will I wear for the day? What shoes? What bag? As if all this equipment is the most important thi...

AKU ADALAH PRODUK KAPITALISME

Gambar
Banyak kelompok mengelu-elukan, 'Ganyang Kapitalisme!!!' dalam demonstrasi dan aksi unjuk rasa mereka. Hal yang sudah biasa kita dengar. Namun sesungguhnya, benarkah pemahaman kita akan kapitalisme selama ini? Aku sendiri, baru benar-benar menyadari rasa ngeri yang mengancam dari sebuah kata yang begitu sering kita dengar, 'kapitalisme', setelah mengikuti sekolah filsafafat ini. Sesungguhnya kapitalisme telah menyatu erat dengan tiap diri kita, mengalir bersama darah pada nadi, berjalan seiring pemikiran kita, mulai bangun tidur hingga kembali ke kamar di malam hari. Sungguh! Tak ada waktu dimana kita tidak merefleksikan paham kapitalisme, bahkan dalam tiap tarikan napas kita. Mau bukti? Baiklah, aku akan mencoba menjelaskannya. Hal pertama yang terlintas di pikiranku saat bangun tidur adalah, dengan pasta gigi apa aku akan menggosok gigi, dan sabun muka apa yang akan kupakai. Belum lagi setelah mandi, pakaian apa yang akan menemani hariku, lalu sepatu, tas, huaaaahhh...

DI BALIK KOLONIALISME

Satu hal yang tak sepenuhnya disadari oleh penghuni bumi Nusantara—khususnya—dan oleh penduduk 80% dunia pada umumnya adalah bahwa kolonialisme bukan sekadar proyek eksploitasi, tetapi juga merupakan produk moral terbesar abad ke-15 hingga ke-19 yang lahir dari pemikiran bangsa Eropa. Bagaimana tidak? Refleksi filsafat kritisisme menyatakan bahwa kebenaran harus bersifat deterministik dan universal.   Kebenaran di sini didasarkan pada rasio dan moral, yang berarti standar ilmu pengetahuan, rasionalitas, serta moralitas di seluruh dunia diinginkan untuk seragam—tentu saja dalam bingkai standar Eropa. Immanuel Kant, sebagai penggagas utama paham ini, menginginkan dunia berada di bawah payung Eropa dalam ukuran-ukuran yang digunakan. Pada praktiknya, inilah yang menjadi landasan kolonialisme sebagai proyek "perbaikan moral" yang mencapai puncak kejayaannya di masa itu.   Sementara itu, apa yang kita pelajari dalam buku-buku sejarah selama pendidikan dasar dan menengah h...

RASIONALISME dan EMPIRISME

Seharian mengobrak-abrik kajian filsafat ternyata sungguh melelahkan. Namun anehnya, tiba-tiba semalam, semuanya tak lagi terasa menjemukan. Awalnya, saat mencoba memahami apa itu rasionalisme, apa itu empirisme, serta bagaimana pemikiran tokoh-tokohnya berkembang, rasanya pemikiran tak kunjung sampai ke dasar. Diskusi demi diskusi akhirnya menjadi jalan menuju pemahaman itu. Hhh… sungguh melegakan ketika akhirnya sampai pada titik terang.   Pembahasan dimulai dari perbedaan mendasar antara keduanya. Rasionalisme bertumpu pada akal budi, rasio, dan wahyu dari Tuhan (*a priori*), sementara empirisme menitikberatkan pengalaman indrawi (*a posteriori*), baik yang bersifat lahiriah (*sensation*) maupun batiniah (*reflection*). Dari segi metode, rasionalisme menggunakan kesangsian metodis, sedangkan empirisme lebih menekankan pada observasi dengan berbagai instrumen pengetahuan yang mendukungnya. Belum lagi jika berbicara soal metode analisis dan pengujian yang digunakan—rasionalis...

FILSAFAT

Membincang filsafat memang seperti menggali sumur tanpa dasar—gelap, dalam, dan sering kali menegangkan. Pikiran seolah tersedot ke dalam labirin pemikiran para pendahulu, menyelami hakikat segala sesuatu di sekitar kita. Kadang aku bertanya-tanya, bagaimana mungkin mereka mampu menembus kepekatan sumur hakikat itu? Betapa gigihnya mereka dalam mencari kebenaran dan pengetahuan!   Namun, tak bisa dipungkiri, problematika yang dihadapi para pecinta filsafat selalu berputar di poros yang sama. Goyahnya kepercayaan, kecenderungan untuk terus bersikap skeptis, hingga kebingungan yang tak berujung. Seakan-akan, filsafat selalu dikelilingi bayang-bayang ketidakpastian yang menakutkan. Tak heran, citra filsafat kerap dicap buruk—seolah semua yang mendalaminya pasti terperosok ke dalam jurang kekafiran atau kemurtadan. Memang, banyak yang tersandung di sana. Namun, apakah itu cukup untuk menjustifikasi bahwa filsafat identik dengan liberalisme yang kebablasan?   Lalu, bagaim...