Postingan

BLUEBIRD

Dulu, sebelum era transportasi online merajalela, taksi konvensional adalah raja jalanan. Nama Bluebird sering terdengar sebagai standar kenyamanan dan kepercayaan, tetapi seiring munculnya Gojek, Grab, dan semacamnya, taksi mulai tergeser dari pilihan utama masyarakat. Aku sendiri, sebagai pengguna setia transportasi online, hampir tidak pernah terpikir untuk kembali ke taksi konvensional. Sampai akhirnya, dalam satu kesempatan, aku mencoba Bluebird untuk pertama kalinya. Ekspektasi vs. Realita Sebelum naik, aku sempat bertanya-tanya, apakah harga Bluebird masih semahal yang dulu terkenal? Apakah pengalamannya akan jauh berbeda dibandingkan naik Gojek, Grab, Maxim, atau inDrive? Dengan ekspektasi campur aduk, aku memesan Bluebird melalui aplikasinya sendiri. Ketika taksi datang, aku langsung memperhatikan kondisi mobilnya.  Bersih, wangi, dan ber-AC dingin —sebuah standar yang sudah lama diasosiasikan dengan Bluebird. Dari segi kenyamanan, tidak ada perbedaan mencolok diband...

PERPUSTAKAAN

"Perpustakaan bukan sekadar tempat membaca. Ia adalah surga kecil yang menyimpan cerita, mempertemukan sahabat, dan menjadi inspirasi untuk terus bermimpi. Di tempat ini, aku menemukan rumah bagi pikiran dan jiwaku." Ada sesuatu yang selalu membuatku terpikat setiap kali melangkahkan kaki ke perpustakaan. Begitu melihat rak-rak penuh buku dengan berbagai warna dan ukuran, aku merasa seperti menemukan dunia lain. Novel-novel dengan cerita mendalam, buku anak yang penuh ilustrasi ceria, hingga buku-buku ensiklopedia yang penuh pengetahuan—semuanya seperti memanggilku untuk membuka dan menjelajahi setiap halamannya. Aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan, memindai judul demi judul, menyentuh sampulnya, dan membayangkan petualangan apa yang tersembunyi di dalamnya. Rasanya seperti tenggelam di dunia lain, dunia yang penuh keajaiban, inspirasi, dan kedamaian. Sering kali, aku lupa waktu, bahkan lupa kalau ada tempat lain yang harus kutuju. Aku tak ingin pulang, kar...

PETUALANGAN

Di sebuah kebun yang jauh di negeri tropis, hiduplah nanas bernama Nino. Nino bukan nanas biasa. Ia bisa berbicara dan memiliki impian besar. Setiap kali matahari terbit, Nino akan menyapa dengan ceria, "Selamat pagi, dunia! Semoga hari ini penuh dengan petualangan!" Namun, Nino merasa sedikit berbeda dari teman-temannya yang lain. Mereka semua hanya terdiam menunggu untuk dipetik, sementara Nino ingin berkeliling dunia, bertemu dengan orang-orang, dan mengalami banyak petualangan. Tapi sayangnya, ia hanya bisa diam, terkurung dalam kulit kerasnya. Suatu hari, saat angin bertiup kencang, ada seorang petani yang datang ke kebun. Nino merasa gugup, ketakutan kalau-kalau hari itu ia akan dipetik dan dijadikan jus nanas atau salad buah. Namun, petani itu ternyata hanya lewat dan terus melanjutkan langkah, meninggalkan Nino dengan rasa penasaran yang semakin besar. "Kenapa aku tidak bisa bergerak?" pikir Nino. "Apa yang harus aku lakukan untuk memulai petualanganku?...

GELAP

Icha menatap langit-langit kamar yang berwarna kelabu. Bukan karena catnya, tapi karena dinding itu sudah lama kehilangan cahaya. Tirai tebal menutup rapat jendela, membiarkan debu menumpuk di setiap sudut ruangan. Kamar itu menjadi dunianya—penjara tanpa jeruji, tetapi penuh ketakutan yang tak kasat mata. Sudah bertahun-tahun sejak ia terakhir kali melangkah keluar. Semuanya dimulai dengan perasaan lelah yang tak kunjung hilang. Lalu, perlahan, dunia di luar terasa seperti monster yang siap menerkam. Ponsel yang dulu menjadi penghubungnya dengan teman-teman kini teronggok mati di laci meja. Semua kontak dan aplikasi telah ia hapus. Icha takut akan pesan, takut akan suara dering, bahkan takut akan cahaya layar yang menyilaukan. Setiap malam, mimpi buruk datang tanpa undangan. Wajah-wajah asing dengan tatapan menghakimi, ruangan gelap tanpa pintu keluar, dan jeritan tanpa suara. Icha sering terbangun dengan tubuh basah oleh keringat dingin, jantung berdegup seperti genderang perang. Ia ...

MALU

Ada saatnya aku merasa ingin menghilang. Bukan karena lelah menghadapi dunia, tapi karena pandangan orang yang terasa begitu menusuk. Diagnosis itu—depresi. Kata yang terdengar seperti vonis akhir bagi banyak orang. Ketika aku pertama kali harus mengunjungi poli jiwa, rasanya seperti membawa beban berat di pundakku, meski langkahku hanya menuju ruangan kecil dengan pintu bertuliskan Konsultasi Psikiatri. “Malu,” bisik hatiku, berkali-kali, seperti mantra yang tak henti terulang. Pandangan orang-orang di ruang tunggu terasa seperti sorotan lampu tajam yang menguliti diriku. Mereka mungkin bertanya dalam hati, Apa yang salah dengannya? Kenapa dia ada di sana? Dan aku? Aku sendiri tak tahu apa yang salah. Yang aku tahu hanyalah bahwa aku lelah. Hari-hari setelah itu, hidupku berubah. Obat-obatan yang harus kuminum beberapa kali setiap hari, sesi terapi yang harus kujalani secara rutin, dan rasa cemas yang tak pernah benar-benar hilang. Di luar, aku mencoba tersenyum. Tapi di dalam, ada su...

BAYANG

Senja itu datang seperti biasa, membawa warna jingga yang berbaur dengan kegelapan. Tapi di mataku, senja terasa hampa, seakan kehilangan makna yang dulu kupuja. Di tengah keramaian dunia, aku merasa asing dan terbuang. Kehidupan terus berjalan, tetapi langkahku tertahan, tenggelam dalam lautan pikiran yang tiada habisnya. Depresi bukanlah sekadar sedih yang berlalu begitu saja. Ia datang tanpa permisi, seperti bayangan yang perlahan merayap, mengaburkan cahaya di sekitarku. Setiap pagi menjadi perjuangan, dan setiap malam terasa seperti pertempuran tanpa akhir. Aku ingin berbicara, tetapi kata-kata selalu menghilang sebelum sempat keluar. Hari itu, aku duduk di tepi jendela, memandangi langit yang muram. "Kenapa aku seperti ini?" tanyaku pada diriku sendiri, tetapi, tak ada jawaban. Yang ada hanyalah kekosongan, keheningan, dan beribu pikiran yang berulang-ulang menghantam keyakinanku. Di antara bayang-bayang itu, ada sesuatu yang menahan. Entah doa yang tak pernah kuucap, a...

JEDA

Hidup adalah perjalanan yang tak pernah benar-benar kita pahami. Kadang terasa berat, kadang penuh sukacita, tetapi selalu menyimpan pelajaran. Malam itu, aku duduk di teras rumah, merenungi keheningan yang menyelimuti dunia. Langit begitu cerah, dihiasi taburan bintang yang tampak acuh pada hiruk-pikuk kehidupan manusia. Pikiranku melayang, mencoba memahami makna dari segala kesibukan yang kerap menyita waktu dan perhatian. Kita bangun pagi-pagi, bergegas menjemput rezeki, lalu kembali ke rumah dengan rasa lelah yang membebani. Namun di antara semua rutinitas itu, apa yang sebenarnya kita kejar? Aku ingat seorang pria tua yang pernah kutemui di pasar. Dengan tubuh yang ringkih, ia masih mengangkat karung-karung berat demi menjual hasil kebunnya. Di sela pekerjaannya, ia tersenyum ramah kepada setiap orang yang lewat, seolah berkata bahwa hidup ini bukan hanya tentang perjuangan, tetapi juga tentang berbagi. "Yang penting bukan seberapa banyak yang kita miliki, Mbak, tapi seberapa...