Postingan

SESAK

Dadaku sakit. Rasanya bagai ditusuk paku tajam di satu titik. Napasku terhambat. Aku megap-megap mencari udara. Kucoba berpindah posisi. Suara di kepalaku tertawa.  Dadaku bagai dicengkeram paksa. Kukepalkan tanganku, lalu kupukulkan di dada. Sesak itu menjalar, merobek, mencakar. Mulutku ingin bicara, tapi kepalaku membungkamnya.  Mataku memanas. Aku ingin menangis. Ingin teriak, ingin terisak. Tapi kudengar suara, 'Kamu kuat! Kamu hebat! Kita bisa keluar dari semua ini, lagi!" Tidak, batinku. Aku capek. Aku kesakitan. Aku mau menyerah saja. Bagaimana caraku melewati semua ini dulunya? Sosok hitam itu mendekat, mengelus kepalaku dengan kuku tajamnya, 'Kamu tak akan bisa. Diamlah, seperti biasa.' Kupaksakan diriku bangkit. Tanganku gemetar. Kakiku lemas. Badanku menolak setiap perintah otak. Sepertinya, diam dan menyerah lebih mudah. Godaan itu menerpa, seperti ombak menyapu karang. Aku merindukan candu itu, suara yang bisa seketika membangkitkanku. Tapi aku sadar itu ...

IJEN

Pagi ini, aku turun dari jalur pendakian Gunung Ijen, disambut oleh pedagang buah-buahan segar yang memanjakan mata. Setelah mengembalikan masker gas ke toko pojok samping toilet, aku merebahkan badan di atas sebuah bangku kayu, meluruskan kaki yang bekerja keras semalaman. Di sampingku, abu api unggun semalam menyebar, terkadang jatuh ke jaket dan wajahku. Tapi aku tak memedulikannya. Aku hanya ingin menulis. Menulis apa yang kuingat dari petualangan dadakan ini.  Kemarin, seorang teman dari Italia mengunjungiku. Mengajakku untuk mendaki Ijen bersamanya. Setelah menyiapkan surat kesehatan dadakan di klinik dekat rumah orang tuaku, kami pun berangkat. Rencana awalnya, kami akan mengendarai motor berdua ke atas, mencoba hal terbaik yang kami bisa. Tapi karena begitu banyak orang menentang dan memberi saran sebaliknya, aku pun tiba-tiba menemukan sebuah ide. Kami bisa pergi ke atas dengan aman beriringan bersama DAMRI! Kenapa tidak naik DAMRI saja yang murah dan nyaman? Karena kami k...

SAKIT

Rasanya seperti ada di dalam gelembung. Gelap. Mengambang. Mati rasa. Aku mati-matian berusaha menarik diri dari kehampaan. Berusaha menjalani hari senormal orang lainnya. Tapi kosong. Otakku tak mau berpikir. Tangan dan kakiku lemas. Sementara semua di hadapanku berjalan seperti biasa. Satpam menyeberangkan orang yang lewat. Pasar ramai dengan aktivitasnya. Jalan raya tetap macet seperti biasa. Tapi kenapa pikiranku buntu? Kenapa rasanya seperti beberapa detik setelah disuntik obat bius di ruang operasi? Kebas.  Aku tak sanggup bicara, tak bisa merasa. Tak mau bertemu siapa-siapa. Kepalaku mau pecah saking ramainya. Semua suara sibuk menyalahkanku. 'Harusnya kamu mati! Pergi! Tak usah kembali!' Lalu berkata, 'Apa kubilang, kamu tak akan bisa pulih! Tinggal menunggu waktu saja sampai kau bersamaku lagi,' sosok bertopeng putih dengan taring kemerahan itu tersenyum culas di benakku. Ia menyumpahiku tak henti-henti. Aku berusaha kabur, tapi tubuh dan pikiranku, seolah tak ...

BLUEBIRD

Dulu, sebelum era transportasi online merajalela, taksi konvensional adalah raja jalanan. Nama Bluebird sering terdengar sebagai standar kenyamanan dan kepercayaan, tetapi seiring munculnya Gojek, Grab, dan semacamnya, taksi mulai tergeser dari pilihan utama masyarakat. Aku sendiri, sebagai pengguna setia transportasi online, hampir tidak pernah terpikir untuk kembali ke taksi konvensional. Sampai akhirnya, dalam satu kesempatan, aku mencoba Bluebird untuk pertama kalinya. Ekspektasi vs. Realita Sebelum naik, aku sempat bertanya-tanya, apakah harga Bluebird masih semahal yang dulu terkenal? Apakah pengalamannya akan jauh berbeda dibandingkan naik Gojek, Grab, Maxim, atau inDrive? Dengan ekspektasi campur aduk, aku memesan Bluebird melalui aplikasinya sendiri. Ketika taksi datang, aku langsung memperhatikan kondisi mobilnya.  Bersih, wangi, dan ber-AC dingin —sebuah standar yang sudah lama diasosiasikan dengan Bluebird. Dari segi kenyamanan, tidak ada perbedaan mencolok diband...

PERPUSTAKAAN

"Perpustakaan bukan sekadar tempat membaca. Ia adalah surga kecil yang menyimpan cerita, mempertemukan sahabat, dan menjadi inspirasi untuk terus bermimpi. Di tempat ini, aku menemukan rumah bagi pikiran dan jiwaku." Ada sesuatu yang selalu membuatku terpikat setiap kali melangkahkan kaki ke perpustakaan. Begitu melihat rak-rak penuh buku dengan berbagai warna dan ukuran, aku merasa seperti menemukan dunia lain. Novel-novel dengan cerita mendalam, buku anak yang penuh ilustrasi ceria, hingga buku-buku ensiklopedia yang penuh pengetahuan—semuanya seperti memanggilku untuk membuka dan menjelajahi setiap halamannya. Aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan, memindai judul demi judul, menyentuh sampulnya, dan membayangkan petualangan apa yang tersembunyi di dalamnya. Rasanya seperti tenggelam di dunia lain, dunia yang penuh keajaiban, inspirasi, dan kedamaian. Sering kali, aku lupa waktu, bahkan lupa kalau ada tempat lain yang harus kutuju. Aku tak ingin pulang, kar...

PETUALANGAN

Di sebuah kebun yang jauh di negeri tropis, hiduplah nanas bernama Nino. Nino bukan nanas biasa. Ia bisa berbicara dan memiliki impian besar. Setiap kali matahari terbit, Nino akan menyapa dengan ceria, "Selamat pagi, dunia! Semoga hari ini penuh dengan petualangan!" Namun, Nino merasa sedikit berbeda dari teman-temannya yang lain. Mereka semua hanya terdiam menunggu untuk dipetik, sementara Nino ingin berkeliling dunia, bertemu dengan orang-orang, dan mengalami banyak petualangan. Tapi sayangnya, ia hanya bisa diam, terkurung dalam kulit kerasnya. Suatu hari, saat angin bertiup kencang, ada seorang petani yang datang ke kebun. Nino merasa gugup, ketakutan kalau-kalau hari itu ia akan dipetik dan dijadikan jus nanas atau salad buah. Namun, petani itu ternyata hanya lewat dan terus melanjutkan langkah, meninggalkan Nino dengan rasa penasaran yang semakin besar. "Kenapa aku tidak bisa bergerak?" pikir Nino. "Apa yang harus aku lakukan untuk memulai petualanganku?...

GELAP

Icha menatap langit-langit kamar yang berwarna kelabu. Bukan karena catnya, tapi karena dinding itu sudah lama kehilangan cahaya. Tirai tebal menutup rapat jendela, membiarkan debu menumpuk di setiap sudut ruangan. Kamar itu menjadi dunianya—penjara tanpa jeruji, tetapi penuh ketakutan yang tak kasat mata. Sudah bertahun-tahun sejak ia terakhir kali melangkah keluar. Semuanya dimulai dengan perasaan lelah yang tak kunjung hilang. Lalu, perlahan, dunia di luar terasa seperti monster yang siap menerkam. Ponsel yang dulu menjadi penghubungnya dengan teman-teman kini teronggok mati di laci meja. Semua kontak dan aplikasi telah ia hapus. Icha takut akan pesan, takut akan suara dering, bahkan takut akan cahaya layar yang menyilaukan. Setiap malam, mimpi buruk datang tanpa undangan. Wajah-wajah asing dengan tatapan menghakimi, ruangan gelap tanpa pintu keluar, dan jeritan tanpa suara. Icha sering terbangun dengan tubuh basah oleh keringat dingin, jantung berdegup seperti genderang perang. Ia ...