Postingan

KISAH

Malam ini, ada peristiwa yang begitu membuatku tersentuh. Aku bertemu dengan peminat bukuku yang pertama. Ia menghubungiku tepat beberapa saat setelah aku membagikan cerita di Instagram tentang buku yang baru saja kutulis. Kami pun sepakat untuk berjumpa. Ia datang dengan wajah cerah dan penuh semangat. Di tangannya, tergenggam bukuku yang masih rapat terbungkus plastik dan berbau cetakan baru. Dengan senyum mengembang, ia memintaku menandatangani halaman depannya. Saat itu, ada sesuatu yang menetes dalam di hatiku. Campuran rasa bahagia, bangga, dan haru mengalir begitu saja. Aku tersadar, bahwa aku—yang beberapa bulan lalu masih bingung akan makna keberadaanku di dunia—kini telah melangkah begitu jauh, dengan segudang rencana yang siap diwujudkan. Namun, ada satu momen yang membuatku benar-benar tercengang. Gadis bermata pelangi itu—begitu aku menyebutnya karena matanya tampak menyimpan banyak cerita—berkata perlahan, "Maukah Kakak menuliskan kisah hidupku?" Aku terdiam sej...

BERPETUALANG DI DESA SULEK

Menghabiskan dua hari di Lajer Pote sebagai volunteer Festival Bibian adalah pengalaman yang tak terlupakan. Desa Sulek, dengan kesederhanaan dan keramahan warganya, menjadi saksi perjalanan ini. Sejak awal tahun, Mas Taufik dari Lajer Pote sudah mengajakku untuk bergabung di festival tersebut. Aku menandai tanggal di kalender, menunggu momen itu dengan antusias. Seorang teman dari Surabaya yang kebetulan tertarik ikut juga membuat perjalanan ini semakin seru. Kami pun berangkat bersama, siap menjelajah dua hari penuh di Desa Sulek. Di Lajer Pote, aku bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar belakang. Setiap obrolan, setiap cerita yang dibagikan, menambah kekayaan pengalaman mental yang tak ternilai. Rasanya luar biasa bisa mengenal mereka, dan aku tak sabar menantikan kisah kami selanjutnya. Hari Pertama: Menyerap Kehangatan Desa Perkenalan di tempat baru selalu terasa sedikit canggung, apalagi di desa yang belum pernah kukunjungi sebelumnya. Tapi begitu sampai di Lajer Pote, su...

HARU

Ada sebuah perasaan aneh yang kurasakan sekarang. Setiap kali aku bepergian ke luar kota apalagi jika menghabiskan beberapa hari di jalan, dan setiap memasuki batas kota itu, sebuah pagar besar bertuliskan "Selamat datang di Kota Bondowoso", aku merasa terharu. Rasanya seperti kembali ke rumah. Perasaan yang dulu bahkan tak pernah berani kuimpikan. Perasaan yang tadinya sama sekali aku tak tahu bisa aku rasakan untuk tempat ini. Dulu, Bondowoso hanyalah titik di peta. Kota kecil yang kutinggalkan tanpa beban setiap kali ada kesempatan pergi. Tak ada keterikatan, apalagi rindu. Hanya sekadar tempat pulang yang kutempati sementara sebelum perjalanan berikutnya membawaku pergi lagi. Tapi sekarang, ada sesuatu yang berubah. Aku melihatnya dengan cara berbeda. Jalanan yang dulu terasa sempit dan biasa saja kini menyimpan jejak langkahku. Warung nasi di sudut pasar, yang dulu tak pernah kusinggahi, kini menjadi tempat di mana aku duduk, mengamati orang-orang, dan merasakan denyut k...

DIRI

Pernah gak, kamu merasa terikat dengan seseorang yang sebenarnya… bukan tipemu? Bukan orang yang kamu bayangkan muncul di ujung doa, atau yang masuk dalam daftar pasangan idealmu? Aku pernah. Dan itu bikin aku bertanya-tanya: kenapa? Dia bukan sosok yang stabil. Hidupnya seperti roller coaster—penuh kejutan, sulit ditebak. Tapi setiap kali aku berbincang dengannya, ada sesuatu yang bangkit dalam diriku. Seperti semangat hidup yang lama tertidur, tiba-tiba terjaga kembali. Aku merasa hidup. Spontan. Bebas. Seolah semua kemungkinan di dunia ini bisa terjadi begitu saja. Waktu dia datang, aku nggak banyak berharap. Aku cuma ingin teman perjalanan. Seseorang untuk diajak ngobrol tanpa banyak basa-basi. Yang bisa diajak pergi jauh, mencari tempat baru, tanpa harus merencanakan segalanya seperti biasanya aku selalu. Tapi ternyata, hidup punya caranya sendiri untuk mengejutkanku. Yang paling menarik, darinya aku menemukan banyak hal yang baru kuketahui tentang diriku.  Sebab ia hidup tanp...

SESAK

Dadaku sakit. Rasanya bagai ditusuk paku tajam di satu titik. Napasku terhambat. Aku megap-megap mencari udara. Kucoba berpindah posisi. Suara di kepalaku tertawa.  Dadaku bagai dicengkeram paksa. Kukepalkan tanganku, lalu kupukulkan di dada. Sesak itu menjalar, merobek, mencakar. Mulutku ingin bicara, tapi kepalaku membungkamnya.  Mataku memanas. Aku ingin menangis. Ingin teriak, ingin terisak. Tapi kudengar suara, 'Kamu kuat! Kamu hebat! Kita bisa keluar dari semua ini, lagi!" Tidak, batinku. Aku capek. Aku kesakitan. Aku mau menyerah saja. Bagaimana caraku melewati semua ini dulunya? Sosok hitam itu mendekat, mengelus kepalaku dengan kuku tajamnya, 'Kamu tak akan bisa. Diamlah, seperti biasa.' Kupaksakan diriku bangkit. Tanganku gemetar. Kakiku lemas. Badanku menolak setiap perintah otak. Sepertinya, diam dan menyerah lebih mudah. Godaan itu menerpa, seperti ombak menyapu karang. Aku merindukan candu itu, suara yang bisa seketika membangkitkanku. Tapi aku sadar itu ...

IJEN

Pagi ini, aku turun dari jalur pendakian Gunung Ijen, disambut oleh pedagang buah-buahan segar yang memanjakan mata. Setelah mengembalikan masker gas ke toko pojok samping toilet, aku merebahkan badan di atas sebuah bangku kayu, meluruskan kaki yang bekerja keras semalaman. Di sampingku, abu api unggun semalam menyebar, terkadang jatuh ke jaket dan wajahku. Tapi aku tak memedulikannya. Aku hanya ingin menulis. Menulis apa yang kuingat dari petualangan dadakan ini.  Kemarin, seorang teman dari Italia mengunjungiku. Mengajakku untuk mendaki Ijen bersamanya. Setelah menyiapkan surat kesehatan dadakan di klinik dekat rumah orang tuaku, kami pun berangkat. Rencana awalnya, kami akan mengendarai motor berdua ke atas, mencoba hal terbaik yang kami bisa. Tapi karena begitu banyak orang menentang dan memberi saran sebaliknya, aku pun tiba-tiba menemukan sebuah ide. Kami bisa pergi ke atas dengan aman beriringan bersama DAMRI! Kenapa tidak naik DAMRI saja yang murah dan nyaman? Karena kami k...

SAKIT

Rasanya seperti ada di dalam gelembung. Gelap. Mengambang. Mati rasa. Aku mati-matian berusaha menarik diri dari kehampaan. Berusaha menjalani hari senormal orang lainnya. Tapi kosong. Otakku tak mau berpikir. Tangan dan kakiku lemas. Sementara semua di hadapanku berjalan seperti biasa. Satpam menyeberangkan orang yang lewat. Pasar ramai dengan aktivitasnya. Jalan raya tetap macet seperti biasa. Tapi kenapa pikiranku buntu? Kenapa rasanya seperti beberapa detik setelah disuntik obat bius di ruang operasi? Kebas.  Aku tak sanggup bicara, tak bisa merasa. Tak mau bertemu siapa-siapa. Kepalaku mau pecah saking ramainya. Semua suara sibuk menyalahkanku. 'Harusnya kamu mati! Pergi! Tak usah kembali!' Lalu berkata, 'Apa kubilang, kamu tak akan bisa pulih! Tinggal menunggu waktu saja sampai kau bersamaku lagi,' sosok bertopeng putih dengan taring kemerahan itu tersenyum culas di benakku. Ia menyumpahiku tak henti-henti. Aku berusaha kabur, tapi tubuh dan pikiranku, seolah tak ...