Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2010

JODOH TERBAIK UNTUK ICHA

“Dia merokok, gak?” Aku mengeluh dalam hati. ‘Lagi-lagi segudang kriteria itu…’ pikirku gundah. “Insya Allah enggak kok, Cha…” “Jangan-jangan dia pernah pacaran..” Kulihat matanya berkedut pelan, tanda kesangsian. “Masa kamu se-nggak percaya itu sih sama aku, Cha… Nggak mungkinlah aku menjerumuskan sahabatku sendiri, pastilah aku memilih yang terbaik untuk Icha yang cantik ini..” kucubit pipinya gemas. Icha mengelak. “Iiih.. Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan deh…” tak pelak kulihat sekilas tawa dimatanya. *** Sudah beberapa minggu ini aku mendapat kesibukan baru yang cukup menguras energi dan plus, kesabaranku. Semua ini bermula saat aku bertemu kembali dengan Icha, sahabat SMA-ku dulu. Sepuluh tahun lalu, Icha adalah bintang kelas di sekolah. Selain selalu meraih peringkat pertama, penampilannya yang supel dan apik menjadikannya orang nomor satu di sekolah. Tak ada yang tak mengenalnya kala itu. Dan kini, ia masih persis sama seperti yang terakhir kali kuingat. Cantik dan men...

SAAT USTADZ H. SETYAWAN LAHURI, MA BICARA PENDIDIKAN

Saya mengajar di pondok selama lima tahun. Setengah tahun di Gontor Putra, dan sisanya di Gontor Putri 1. Sebenarnya tidak ada perbedaan mendasar antara santri putra dan putri, karena materi dan lingkungan relatif sama, namun memang tingkat kepedulian dalam beberapa permasalahan - dan bukan pelajaran - memang tidak sama. Contohnya saat bicara masalah politik atau olahraga, anak putra lebih responsif. Begitu juga saat membahas masalah fashion misalnya, tentu saja respons santri putri lebih besar. Jadi saya memang setuju sekali adanya perbedaan pendidikan dan pengajaran antara keduanya, tentu saja dalam tingkatan tertentu yang disesuaikan. Bagi saya sendiri, kecerdasan itu relatif. Kita tidak bisa menyatakan santri putra lebih cerdas dari putri. Apalagi, kecerdasan memang bermacam-macam. Ada kecerdasan fisik atau jasmani, linguistik, dan lain sebagainya. Cuma perbedaan tanggapan dalam beberapa hal memang ada, dan itu wajar. Bicara soal mengajar, ada teman yang bilang mengajar di Gonto...

METODE PENGAJARAN

“Gimana sih, Ustadzah? Antum harusnya tahu lah cara mengajar yang baik dan benar! Jangan seenak hati antum sendiri! Kalau begini, yang rugi santri, Ustadzah! Coba dipertegas lagi! Dan tolong ini dijadikan evaluasi besok ketika akhir tahun…” Suara ketus itu terus terngiang-ngiang di kepalaku. ‘‘Aku tidak becus mengajar - aku tak pantas mengajar - aku tak seharusnya mengajar,’’ kalimat-kalimat yang berputar-putar di benakku seolah hendak menjebol benteng pertahananku. Tapi kugigit bibir sekuat tenaga, berusaha melenyapkan ngilu yang menderas di hatiku. Aku harus kuat, setidaknya kali ini. " Afwan , Ustadzah.. Terima kasih sekali atas nasehatnya. Insya Allah akan  ana  jadikan evaluasi ke depannya..” Dengan kepala ditegak-tegakkan aku berdiri, mengeloyor pergi dari kopda guru yang terasa begitu panas bagiku. Di jalan aku merenung. Sebenarnya apa sih yang kusedihkan, sampai harus berjuang menahan air mata yang mendesak keluar? Bukankah kritik dan  ishlah  adalah dua hal ...

PEMBUAT SOAL

Kesulitan yang acapkali dialami sebagian guru saat ditugaskan membuat soal adalah menerapkan standar yang sesuai bagi semua santri. Menimbang kemampuan santri yang beragam -mulai standar sampai di atas rata-rata- memang bukan hal yang mudah membuat soal yang dirasa pas. Meski pondok telah menerapkan standar ideal bagi pembuat soal, yaitu soal yang dikategorikan mudah 30%, sedang 20%, sedangkan yang tergolong susah 50%. Tapi bagaimanapun, di atas semua itu, yang paling menentukan baik tidaknya, atau sesuai tidaknya soal yang dibuat itu, bisa dilihat saat soal tersebut diujikan padas santri. Kemampuan dan metode pengajaran seorang guru ikut diuji saat itu. Bila kebanyakan santri tidak bisa menjawab hampir semua soal yang diberikan, ada tanda-tanda soal yang dibuat terlalu sulit, atau kurang sesuai dengan kemampuan standar para santri.  Namun sebaliknya, saat soal-soal yang dibuat mampu dijawab semuanya dengan mudah oleh para santri, bisa jadi soal terlalu mudah, atau kurang memenuhi ...

FENOMENA MENARIK

Ada fenomena menarik di pondok putri tempatku menuntut ilmu selama ini. Fenomena ini tidak bisa dibilang baik, namun untuk mengubahnya tak semudah membalikkan telapak tangan. Sepertinya hal ini sudah berurat akar dan menjadi kebiasaan yang sulit diganti.  Yang sering terjadi adalah para santri lebih memilih menanyakan pelajaran yang belum dipahaminya diluar kelas daripada sebaliknya, meski guru sudah memberi kesempatan bertanya yang lebih dari cukup. Bukan masalah jika yang ditanyakan berupa perbedaan pendapat atau kalimat yang tidak dipahami. Yang jadi masalah ketika guru ditanya satu-dua bab sekaligus, atau parahnya lagi semua materi dari awal sampai akhir! Mau tidak mau, para guru yang keliling saat muwajjah malam memang harus mempersiapkan diri menjawab semua itu.  Terkadang hal ini mengakibatkan guru kapok dan malas muwajjah malam bersama santri, terutama jika ditanya materi pelajaran yang kurang dipahami dan bukan menjadi faknya. Hhhh… rasanya serba salah! Maka dari it...

MASA KULIAH

Selama ini aku terkenaaaalll.. sekali di kampus. Sayangnya, kemasyhuran itu bukan dalam hal baik, tapi justru karena aku rajin ‘meliburkan diri’! Hehe.. Sebenarnya sih bukan tanpa sebab aku melakukan hal itu. Alasan utamaku hanya ada dua, yang pertama capek ato malas, dan yang terakhir : hujan. Kok? Iya… Pokoknya prinsipku, kalau hujan turun, itu berarti aku dapat dispensasi dari Allah buat gak masuk kuliah! Maksa banget gak, sih?? Haha.. Pokoknya hal itulah yang kupegang teguh selama ini.. Jadi, jangan heran kalau sudah hujan, aku langsung ganti baju, menyiapkan kasur, bantal, guling, selimut, dan lain-lain…. Lalu... Tidur nyenyak, deh.. *jangan ditiru* Awalnya teman-teman dan kakak kelasku selalu protes tak menyetujui kebiasaan burukku itu, tapi lama kelamaan mereka jadi paham (atau bosan) sendiri. “Kok gak kuliah, Chi?” “Ujaaaannnn!!!” Bagai koor teman-temanku menjawab serentak tanpa dikomando. Aku cuma bisa cengengesan sendiri. Walah-walah…

LATIHAN PIDATO

Saat jadi santri dulu, hal yang sering kuhindari adalah waktu muhadloroh !! Bukan karena aku tidak suka berpidato, bukan juga karena takut bicara di depan audience .. tapi entah kenapa ya? Saat muhadloroh terasa begitu menjemukan. Hampir semua wajah teman-temaku juga tertekuk masam bila tiba saatnya latihan pidato. Entahlah, mungkin mereka merasakan hal yang sama denganku.  Meski ada juga yang disebabkan karena faktor-faktor lain, seperti: seragam yang belum dicuci, teks pidato yang belum diperiksa atau ditandatangani, sampai rasa gugup plus cemas karena akan tampil di depan teman-teman dan kakak pembimbing. Memang macam-macam tingkah polah santri itu, yang kalau kuingat-ingat lagi, rasanya kangeeen sekali dengan masa-masa itu..  Tapi, sebenarnya yang paling berkesan, yaitu saat tiba waktuku berpidato -entah itu berbahasa Arab, Inggris ataupun Indonesia- aku selalu merasakan semacam gelora semangat yang menggebu-gebu untuk tampil sebaik-baiknya bak orator ulung yang mampu m...

MOMEN PENGAWAS UJIAN (2)

Hal-hal paling menyebalkan saat jadi muroqibah pas ujian itu: - Bosan - Pusing - Capek - Pengen jalan-jalan - Mata sepet - Badan pegal-pegal Tapi, ada juga hal-hal yang menyenangkan, yaitu: Kenyataan bahwa : SEBENTAR LAGI PULANG!!! JELANG LIBURAN!! YUHUUU… Kalo sudah memikirkan kata ajaib itu… Seminggu pun terasa bagai semenit!! Haha… Tidak juga sih.. Tetap saja terasa lama, tapi, setidaknya, kata ‘PULANG’ menjadi motivasi terbesar untuk terus berdiri dan mengawasi ujian para santri. Jadi teringat saat dulu jadi tholibah , paling sebal saat ukhti/ustadzahnya keliling terus memeriksa lembar jawaban, hhh… rasanya seolah ingin teriak, ‘Jangan diliatin dong, Kak….’ Emang aku tuh paling gak bisa menulis kalau ada yang ngeliatin. Rasanya otak jadi macet… Tapi sekarang… setelah memahami dan bahkan, merasakan sendiri rasanya jadi pengawas ujian, aku jadi luar biasa salut pada semua kakak-kakak yang jadi pengawasku dulu… Betapa sabar dan telatennya mereka menghadapi aku, yang kadan...

PENGAWAS UJIAN = LATIHAN KESABARAN

Banyak yang aku perhatikan selama menjadi pengawas ujian. Maksimal 15 menit pertama, semua santri akan diam, tenang, dan khusyuk membaca lalu berusaha mengerjakan soal-soal ujian. Tak satupun mengobrol, mengantuk, apalagi tertidur. Semua berusaha sedapat mungkin menjawab soal-soal yang diberikan. Menjelang 15 menit kedua, satu dua santri mulai gelisah. Menoleh ke kanan-kiri, memijit-mijit kening, bahkan ada yang sudah mulai mengantuk. Keberadaan pengawas mulai difungsikan sebaik-baiknya. Keliling sana-sini, membangunkan yang mengantuk, mengingatkan yang melamun, sampai memarahi yang corat-coret sembarangan. Entah apa jadinya kalau ujian dilaksanakan tanpa pengawas. Mungkin sebagian santri akan berbuat seenaknya, disiplin takkan sepenuhnya berjalan! Melewati setengah jam pengerjaan ujian, kepala-kepala satu persatu diletakkan di atas meja, bertopang dagu atau bertumpu punggung telapak tangan. Yang masih serius 100% hanya beberapa santri saja saat ini. Sebagian besar memandangi hampa s...

GURU IDEALKU

Ada seorang guru yang kukagumi. Beliau adalah jenis orang yang membuatku ingin terus bertanya hal apapun yang terlintas di benak- entah berhubungan dengan pelajaran ataupun kehidupan- kapanpun berjumpa. Tak pernah bosan rasanya menimba ilmu yang serasa tak habis-habisnya dari beliau. Dan dibalik keistiqomahan beliau untuk terus menuntut ilmu, aku menemukan sebentuk kerendahan hati yang tercermin dari sikap dan laku budi.  Entah di kelas, di jalan saat berpapasan, ataupun di kediaman beliau, seperti ada yang kurang kalau aku tak memanfaatkan pengetahuan dan terutama, kesabaran beliau untuk meladeni pertanyaan-pertanyaanku. Haha.. Syukron ya Ustaadzie.. Suatu saat nanti aku bertekad akan berusaha menjadi lebih baik dan lebih sabar menghadapi murid, juga menjawab segala bentuk pertanyaan seperti antum, dan tak pernah bosan untuk terus menambah ilmu, juga sama, seperti antum! Doakan…

HARUS TERUS BELAJAR

“Ustadzah… Hurufnya kurangnya satu…” Suatu saat salah satu santriku mengacungkan tangan. Kulirik papan tulis. ‘Ia benar,’ pikirku. Aku memang kurang teliti. Segera kuperbaiki tulisanku, lalu bergegas mengucapkan terima kasih atas koreksinya. Di lain kesempatan, salah seorang santri tampak sibuk membisikkan sesuatu pada kawan sebangkunya sembari melirikku. Segera kuhampiri, “Ada apa, Nak?” Ia menggeleng. “La ba’sa Ustadzah…” Aku menghela napas. Apa aku tadi salah menjelaskan ya? Kutenangkan hatiku, lalu kembali ke depan kelas. Penjelasan yang sempat tertunda kulanjutkan kembali, meski konsentrasiku hampir buyar sepenuhnya. Pernah juga ada santri yang tiba-tiba terdiam di tengah-tengah pelajaran. Bibirnya terkatup rapat. Aku langsung merasa tidak enak. Kucoba mengingat-ingat, apa ada yang kurang ya? Bingung, kutanya anak itu, “Kenapa Nak? Ada yang kurang pas menurutmu?” Kusunggingkan seulas senyum manis. Semoga dia mau terbuka padaku. “Emmm… Ustadzah, bukannya seharusnya seperti ini ...

MENGAJAR ITU MENYENANGKAN

Ada satu kelas yang sempat bikin aku hampir putus asa! Pokoknya setiap kali aku dapat giliran mengajar di kelas itu, rasanya ingin sekali digantikan oleh rekan yang lain. Memang sih, awalnya aku sudah merasa kurang sreg dengan mata pelajaran yang harus kuajarkan satu ini, yaah.. sebagian besar karena aku merasa kurang berkompetensi untuk mengajarkannya. Maka, karena pedoman yang kuyakini dalam pengajaran, bahwa ruuhu-l-mudarrisah ahammu min mudarrisah nafsiha (jiwa seorang guru lebih penting dari guru itu sendiri), mungkin semua santri juga ikut merasakan keenggananku mengajar.  Walhasil, semakin lama kelas pun berubah fungsi jadi kuburan. Hanya bebrapa gelintir anak saja yang masih setia mendengarkan penjelasanku, yang lainnya? Waah!! Ada beberapa opsi, pertama, tidur dengan suksesnya. Kedua, melamun dengan khayalannya masing-masing. Ketiga, pandangan terarah padaku tapi jiwanya entah melayang kemana. Yang lebih parahnya lagi, intensitas pertemuan untuk pelajaran ini jauuuh lebih...

USTADZAH JUGA MANUSIA

Ada beberapa hal lucu, kalau tidak mau dikatakan ‘memalukan’ saat aku mengajar selama ini. Pernah suatu siang, kalau tidak salah jam pelajaran ke-5, aku mendapat tugas mengajar sebuah kelas. Padahal sungguh waktu itu aku ngantuuukkk… sekali! Hampir-hampir mataku tak bisa dibuka saking parahnya. Namun demi amanat yang kuemban (ehm!) kulangkahkan kaki menuju kelas, siap mentransfer sedikit ilmu yang kumiliki. Sesampainya di kelas, aku masuk dan mulai menjelaskan pelajaran seperti biasa. Tak terasa, bel tanda pelajaran berakhir telah berdentang. Ssst.. asal tahu saja, sejujurnya sepanjang satu hishoh itu, aku masih menyimpan rasa kantukku. Jadi tentu saja, begitu bel menandakan akhir waktu, aku segera menyudahi materi, memberi tugas, dan dilanjutkan dengan taujihat secukupnya. Setelah itu aku bergegas melangkahkan kaki keluar ruangan. Tiba-tiba, sebuah suara di belakangku menyeletuk pelan, “Ustadzahnya udah salam belum, sih?” Lalu hening. Aku yang seketika membeku di pintu, tanpa pikir p...

AJAIB

“Assalamualaikum, Ustadzah…” Aku menoleh ke kanan-kiri. Anak itu mengucapkan salam pada siapa sih? Tidak ada orang ini… Aku terheran-heran. Sedetik kemudian, kesadaran merayapiku. O-ow! Kututup mulut kaget. Aku… Jangan-jangan… Oh iya! Haha… Dia pasti menujukannya padaku! Tak salah lagi.. “Engg.. Wa’alaikumussalam, Ukhti…” Segera aku menjawab sambil menahan geli. *** “Ustadzah… Tungguin dong, Ustadzah!” Sebuah suara bervolume tinggi di belakangku sungguh mengagetkan. ‘Apa sih maksudnya, teriak-teriak di siang bolong gini…’ batinku. Kuteruskan langkah tanpa memedulikan panggilan yang entah pada siapa itu. “Ustadzah! Masa gak dengar, Ustadzah…!!” Lagi-lagi suara itu bergema ditelingaku. Sebenarnya siapa yang dipanggil sih… “Ustadzah!! Ustadzah Ai! Masya Allah… Tunggu sebentar Ustadzah…” Sebentar!! Siapa tadi??? Aku tercengang. Spontan kubalikkan badan. Kutunjuk diriku sendiri sambil berdiri kebingungan “Aku?” “Ya iyalah, Ustadzah Ai.. Siapa lagi?” Aduh! Kutepuk dahiku pelan...