HARUS TERUS BELAJAR
“Ustadzah… Hurufnya kurangnya satu…” Suatu saat salah satu santriku mengacungkan tangan. Kulirik papan tulis. ‘Ia benar,’ pikirku. Aku memang kurang teliti. Segera kuperbaiki tulisanku, lalu bergegas mengucapkan terima kasih atas koreksinya.
Di lain kesempatan, salah seorang santri tampak sibuk membisikkan sesuatu pada kawan sebangkunya sembari melirikku. Segera kuhampiri, “Ada apa, Nak?” Ia menggeleng. “La ba’sa Ustadzah…” Aku menghela napas. Apa aku tadi salah menjelaskan ya? Kutenangkan hatiku, lalu kembali ke depan kelas. Penjelasan yang sempat tertunda kulanjutkan kembali, meski konsentrasiku hampir buyar sepenuhnya.
Pernah juga ada santri yang tiba-tiba terdiam di tengah-tengah pelajaran. Bibirnya terkatup rapat. Aku langsung merasa tidak enak. Kucoba mengingat-ingat, apa ada yang kurang ya? Bingung, kutanya anak itu, “Kenapa Nak? Ada yang kurang pas menurutmu?” Kusunggingkan seulas senyum manis. Semoga dia mau terbuka padaku. “Emmm… Ustadzah, bukannya seharusnya seperti ini ya…” Lalu mengalirlah kata-katanya memprotes pelajaran yang baru kusampaikan, disertai beberapa hal yang menurutnya lebih tepat. Aku pun mendengarkannya sambil berpikir.
Sejenak kemudian, kuarahkan pandangku ke seluruh wajah anak didikku. Sambil mengucap basmalah, kuulangi penjelasanku lalu kutambah dengan keterangan tambahan mengenai hal yang disangkal salah satu santriku. Ia memang tidak salah, tapi juga tidak bisa dibilang benar. Maka kucoba mengambil jalan tengah yang bisa membuat semua santri paham tanpa menjatuhkan eksistensiku sebagai guru. Baru kurasakan bahwa ini tidak mudah, tapi jujur aku lebih suka mereka bilang terus terang akan keraguan mereka akan penjelasanku, daripada diam dan menyimpan saja dalam hati, atau menyampaikannya pada teman-temannya.
***
Sesungguhnya hal inilah yang acapkali dapat menunjukkan karakter asli seorang guru. Terbuka atau tidak, berjiwa besar untuk mengakui kesalahannya atau tidak. Ustadzku pernah bilang, seorang guru harus mau menerima berbagai macam masukan, meski berbeda dengan apa yang dia yakini selama ini. Guru yang tidak dapat mengendalikan emosinya dan tidak mau disalahkan berarti tidak memiliki pengendalian diri yang baik, sebab walau bagaimanapun tiada manusia yang sempurna di dunia ini.
Selain itu, menurutku kehebatan seorang guru tidak dapat diukur dari kemampuan dan kesempurnaannya di segala hal, karena hal itu hampir-hampir mustahil untuk dimiliki. Jadi yang terpenting bagiku adalah terus meningkatkan diri dan kemampuan sambil tetap belajar menerima kekurangan dan kesalahan diri sendiri. Semoga…
Komentar