SAAT USTADZ H. SETYAWAN LAHURI, MA BICARA PENDIDIKAN

Saya mengajar di pondok selama lima tahun. Setengah tahun di Gontor Putra, dan sisanya di Gontor Putri 1. Sebenarnya tidak ada perbedaan mendasar antara santri putra dan putri, karena materi dan lingkungan relatif sama, namun memang tingkat kepedulian dalam beberapa permasalahan - dan bukan pelajaran - memang tidak sama. Contohnya saat bicara masalah politik atau olahraga, anak putra lebih responsif. Begitu juga saat membahas masalah fashion misalnya, tentu saja respons santri putri lebih besar. Jadi saya memang setuju sekali adanya perbedaan pendidikan dan pengajaran antara keduanya, tentu saja dalam tingkatan tertentu yang disesuaikan.

Bagi saya sendiri, kecerdasan itu relatif. Kita tidak bisa menyatakan santri putra lebih cerdas dari putri. Apalagi, kecerdasan memang bermacam-macam. Ada kecerdasan fisik atau jasmani, linguistik, dan lain sebagainya. Cuma perbedaan tanggapan dalam beberapa hal memang ada, dan itu wajar.

Bicara soal mengajar, ada teman yang bilang mengajar di Gontor lebih enak dan mudah dibanding diluar, karena tajawwub atau respon siswa lebih besar.

Santri yang paling saya sukai adalah yang paling banyak bertanya apa saja dan memprotes penjelasan saya. Karena itu berarti dia berani dan cerdas. Meski tak dapat dipungkiri banyak santri yang tidak berani mempertanyakan penjelasan gurunya karena takut disalahkan atau disebut tidak sopan. Bagi saya tidak, semakin santri itu menyangkal, maknanya semakin besar responsnya terhadap penjelasan saya. Tentu selama lima tahun mengajar, saya sering membuat kesalahan, seperti pemberian contoh yang kurang pas, dan sebagainya. Namun sudah selayaknya bagi guru untuk menerima berbagai macam masukan, meskipun berbeda dengan apa yang diyakini selama ini. Guru yang cepat naik darah dan tidak mau disalahkan berarti tidak memiliki pengendalian diri yang baik. Seharusnya kita menyadari bahwa kesempurnaan bagi guru adalah mustahil.

Sedangkan tipe santri yang tidak saya sukai adalah anak yang terbiasa menanyakan pelajaran yang saya ajarkan di luar kelas, padahal waktu untuk itu telah diberikan di dalam kelas. Bagi saya itu bagaikan ditusuk dari belakang.

Umumnya, hal yang berkesan dalam mengajar saya dapatkan saat permulaan masuk kelas, masa perkenalan, dan adanya siswa yang berani bertanya atau protes, tapi selain itu tidak ada hal yang benar-benar istimewa sejauh ini. Kesan-kesan itu selalu muncul dan berganti setiap tahun, apalagi mengajar bagi saya adalah sebuah profesi atau amanat, jadi kesan yang ada bersifat temporal saja.

Di Gontor Putri 3 ini saya menemukan beberapa fenomena yang kurang baik. Pertama, santri sering menanyakan pelajaran di luar kelas, sedang saat proses pembelajaran berlangsung mereka cenderung pasif, bahkan tak mendengarkan penjelasan dengan baik. Kedua, pertanyaan yang ditanyakan tidak tanggung-tanggung, tapi seringnya satu dua bab, atau bahkan dari awal sampai akhir. Hal semacam ini tidak saya temui selama mengajar di Gontor Putra. 

Maka hal inilah yang harus kita ubah, yaitu cara pandang atau persepsi santri putri terhadap pelajaran. Penerimaan di kelas seharusnya 90-95% dari keseluruhan materi, dan sisanya di luar kelas. Bukan sebaliknya. Hal inilah yang membuat kebanyakan guru jadi shock dan malas muwajjah malam. Terutama jika guru kurang memahami materi yang ditanyakan.

Mengenai keberhasilan guru dalam mengajar, hal itu memang biasanya diukur dari nilai yang diperoleh santri, atau hanya dilihat dari ukuran akademis saja. Tapi bagi saya, guru yang baik adalah guru yang mampu memberi kesan baik bagi santri. Juga guru yang dapat membuat santrinya terkesan meski frekuensi pertemuan hanya beberapa kali saja. Dengan kata lain, guru itu hebat bila mampu menyampaikan pemikirannya dan membekas di diri santrinya. Oleh karena itu, ukuran keberhasilan seorang guru dalam mengajar bisa dinilai dari segi mental dan perilaku santri, tidak melulu nilainya saja. Bila segi akademis kurang berhasil, namun guru berhasil di segi non-akademis, menurut saya baik saja.

Terkadang, kesulitan pembuatan soal bukan saat pembuatannya itu sendiri, tapi bila saat diujikan hasil yang didapat jauh dari harapan, itulah yang membuat kita berpikir, apakah standar kita terlalu tinggi atau husnudzon kita tidak pada tempatnya. Dan sesungguhnya tidak ada perbedaan mendasar antara pembuatan soal di putra maupun putri. Semua dibuat berdasarkan standar umum yang berlaku, bahkan tidak dinilai apakah pondok cabang kira-kira mampu menjawab atau tidak, seperti itu.

Soal hambatan yang sering ditemui saat mengajar, bagi saya itu adalah materi yang belum dipahami atau dikuasai, adaptasi dengan santri pada awal pengajaran, dan kurangnya respon santri yang bisa membuat guru bertanya-tanya: apakah cara mengajar saya salah, suara saya kurang keras, atau kurangnya pemahaman terhadap materi yang disampaikan.

Bagi saya, metode pengajaran sesuai amaliyah tadris (Metode Herbert) adalah metode terbaik dan benar menurut berbagai macam teori mengajar. Yang salah pada pemahaman kita adalah bahwa metode pengajaran tersebut membuat santri cepat bosan dan mengantuk. Sebenarnya semua itu tergantung pada penyampaian guru dan improvisasinya atas metode tersebut. Maka statement inilah yang harus kita ubah. Bila guru melakukan improvisasi, bukan berarti tidak mengikuti metode amaliyah tadris, tapi substansi yang diberikan dibungkus dengan pendekatan dan aksesori yang berbeda dan lebih menarik. Pada dasarnya, metode yang disampaikan tetap sama, yaitu mencakup 5 hal: al-muqoddimah, ar-robth, al-‘ardh, at-tathbiq, dan al-ikhtitaam.

Lagi, perlu diperhatikan bahwa sistem pengajaran di Gontor dengan Metode Herbert tersebut memang benar, tapi belum tentu tepat diterapkan di luar pondok. Bukan masalah kagum atau tidak, tapi memang sistem ini paling baik dan tepat diterapkan di Gontor yang berasrama.

Pendapat yang menyatakan ‘Gontor adalah dunia rekayasa pendidikan’ memang benar. Ketika kita terjun dalam dunia pendidikan, terutama sebagai pelaku utama yaitu guru atau pengajar, cara tepat untuk sukses adalah menciptakan sebuah miliu yang baik untuk anak. Kita harus memperhatikan kondisi dan lingkungan tempat tinggal anak, karena itulah salah satu faktor atau dimensi penunjang keberhasilan Gontor selama ini. Ini merupakan kesepakatan dan keputusan kita bersama, jadi setiap pendidik harus beradaptasi dan bekerja sama untuk menyukseskan dunia rekayasa ini.

Tentang guru ideal, semua guru saya di Gontor dulu adalah inspirator bagi saya. Beliau semua memberi saya inspirasi dalam bentuk yang berbeda-beda satu sama lain. Ada yang memberi saya teladan dalam keceriaannya mengajar, semangatnya, dan lain sebagainya. Sedang guru yang hebat dalam segala hal hampir atau memang tidak ada karena dalam kamus Gontor, pergaulan dengan guru tidak terbatas oleh waktu interaksi di kelas saja, tapi setiap saat kita juga bisa berinteraksi secara langsung dengan guru tersebut, sehingga mengetahui benar keseharian tiap guru.

Yang terakhir, tips agar selalu siap menghadapi santri: pertama, selalu belajar dan berusaha meningkatkan diri. Ini yang utama. Kedua, selalu mengantisipasi segala kemungkinan yang ada, jadi kita selalu siap akan respons dan pertanyaan yang kira-kira disampaikan santri. Ketiga, selalu memperbarui niat dan semangat, dan terakhir, berusaha menerangkan sejelas dan seluas mungkin, juga sebaik yang kita mampu.

Wallahu a’lam bi-shhowaab…

Komentar

Abu Fakhri mengatakan…
mabruk.... mudah2an istiqomah menulis.... dan bisa dikumpulkan jadi buku novel meneruskan tradisi Negeri 5 Menara, dll.... salam semangat dari Dammam City, KSA
Asri Aisyah El Zahra mengatakan…
Amin... Syukron atas komentarnya.. Mudah2-mudahan terlaksana.. Mohon doa ya...

Baca Tulisan Aisyah El Zahra Lainnya

SEROJA

GELAP

SURAT (3)