METODE PENGAJARAN

“Gimana sih, Ustadzah? Antum harusnya tahu lah cara mengajar yang baik dan benar! Jangan seenak hati antum sendiri! Kalau begini, yang rugi santri, Ustadzah! Coba dipertegas lagi! Dan tolong ini dijadikan evaluasi besok ketika akhir tahun…”

Suara ketus itu terus terngiang-ngiang di kepalaku. ‘‘Aku tidak becus mengajar - aku tak pantas mengajar - aku tak seharusnya mengajar,’’ kalimat-kalimat yang berputar-putar di benakku seolah hendak menjebol benteng pertahananku. Tapi kugigit bibir sekuat tenaga, berusaha melenyapkan ngilu yang menderas di hatiku. Aku harus kuat, setidaknya kali ini.

"Afwan, Ustadzah.. Terima kasih sekali atas nasehatnya. Insya Allah akan ana jadikan evaluasi ke depannya..” Dengan kepala ditegak-tegakkan aku berdiri, mengeloyor pergi dari kopda guru yang terasa begitu panas bagiku.

Di jalan aku merenung. Sebenarnya apa sih yang kusedihkan, sampai harus berjuang menahan air mata yang mendesak keluar? Bukankah kritik dan ishlah adalah dua hal yang selalu kutemui dan bukan sesuatu yang asing lagi? Hhh.. Pasti karena kejadian itu terjadi di kopda yang notabene sangat ramai dengan para ustadzah kala itu. Terus terang aku tak akan ambil pusing, apapun kritikan yang ditujukan padaku. Selama diperuntukkan demi perbaikan, aku akan terima dengan lapang dada, Insya Allah.. 

Namun kondisi dan situasi yang tidak mendukung membuatku sangat sedih dan kecewa. Haruskah semua itu dikatakan di tempat umum? Tidak bisakah menjadi pembicaraan empat mata, misalnya, atau setidaknya di tempat yang relatif sepi?

Sebenarnya bukan pertama kalinya, metode pengajaranku pada satu materi ini dipertanyakan oleh ‘beliau’, wali kelas dimana aku mengajar pelajaran ini. Bahkan kalau dihitung-hitung, lebih dari tiga kali, belum termasuk yang barusan. Menurut beliau, metode yang kupakai sama sekali tidak relevan dan efektif, justru membuat santri malas dan enggan belajar. Otomatis hal itu akan mengakibatkan nilai santri jeblok. Begitu gugatnya selalu.

Sudah menjadi ciri khasku sejak santri dulu, untuk belajar menurut pemahaman dan kemauan, bukan berdasarkan hafalan saja, apalagi yang dilandasi paksaan. Maka itu pulalah yang kuinginkan dari santriku sat ini. Sederhana saja, aku hanya ingin mereka belajar karena senang dan ingin tahu, bukan semata karena kewajiban. Namun tampaknya sangat jarang orang yang memahami tujuanku. Kebanyakan menganggap aku terlalu memanjakan santri dengan tidak mewajibkan hafalan rutin bagi mereka.

Aku masih ingat jelas, perkataan ‘beliau’ suatu hari di kantor KMI tempat berkumpul guru yang sedang tidak mengajar.

“Ustadzah! Kenapa antum tidak mewajibkan hafalan bagi mereka? Ini penting, Ustadzah! Semua pengajar materi ini melakukan hal itu, lalu apa alasan antum sebenarnya?” untuk kesekian kalinya suara itu menohokku.

Kucoba menjawab dengan tenang.
“Ya.. memang ana tidak mengharuskan mereka menghafal, Ustadzah.. Tapi bukan berarti ana sama sekali tidak berusaha memahamkan mereka. Saya juga punya metode yang saya yakini benar, dan oh ya, tentu saja saya juga INGIN SEKALI melihat santri-santri saya berhasil dalam ujian nanti..” Sengaja kutekan kata ‘ingin sekali’, untuk menekankan bahwa aku sama normalnya dengan guru lain yang ingin murid-muridnya sukses saat ujian.

“Namun satu hal lagi yang ana inginkan, Ustadzah..” lanjutku berapi-api. “Ana ingin mereka belajar, menelaah buku, dan berusaha memahami pelajaran dengan keinginan mereka dan juga kesadaran pribadi, bukan paksaan atau rasa takut. Apakah itu salah, Ustadzah?” Kuhela napas panjang, rasanya lelah setelah bicara panjang lebar.

“Tapi yang antum ajar ini kelas bawah, Ustadzah! Bukan kelas atas yang hanya cukup dengan pemahaman, terlebih lagi bukan seperti antum yang sama sekali tak membutuhkan hafalan..”

Aku tersentak. Segera kutolehkan kepalaku. Aku menggigil, mencoba menekan amarah yang mendadak mengalir begitu saja. Tapi sedetik kemudian aku sadar. Aku harus mengalah, kalau tidak pembicaraan ini akan berlarut-larut dan bisa berkembang menjadi perdebatan tak sehat nantinya.

Sekali lagi kutarik napas kuat-kuat, menenangkan hati.
“Iya, Ustadzah.. Memang ana yang salah dalam hal ini.. Harusnya ana lebih memahami kondisi santri ya, Ustadzah.. Terima kasih.. Setelah ini Insya Allah mereka akan saya minta menghafal semua materi.”

Beliau menatapku dengan sorot mata tak puas.
“Mewajibkan, Ustadzah, bukan meminta..”
Aku spontan mengangguk cepat.
“Baik, Ustadzah..Apapun yang antum inginkan..” Tak percaya dengan pertahanan diriku sendiri bila berada disana lebih lama lagi, kuseret kaki melangkah pergi sejauh mungkin. Namun tak luput kudapati berpasang-pasang sorot mata yang menunjukkan berbagai ekspresi. Simpati, menyalahkan, sampai kasihan. Yah, saat itu di kantor memang sedang ramai-ramainya.

Berhari-hari setelahnya aku masih sering gamang dan trauma dengan materi yang dimaksud. Tapi aku tetap berusaha konsisten pada pilihan metode yang kutetapkan. Belajar enjoy, asyik, tapi serius. Tak satupun dari santriku pada materi tersebut yang tidur atau bermalas-malasan saat pelajaran berlangsung. Aku juga berusaha bersikap tegas, meski hatiku kadang masih sakit mengingat perkataan wali kelas mereka. Bagaimanapun, santri tak boleh kena getahnya, Aku akan buktikan, hasil ujian mereka nantinya tidak akan mengecewakan, bahkan aku bertekad nilai rata-rata mereka akan lebih baik dari kelas-kelas lain yang sepadan dengannya. Itu saja targetku, tak kurang tak lebih.

Saat-saat menjelang ujian, tak urung aku deg-degan juga. Bisa tidak ya mereka mengerjakan ujian sebaik-baiknya? Sedang aku masih pada keputusan awalku, tidak menetapkan wajib menghafal bagi mereka, tapi pemahaman dan antusias mereka terhadap pelajaran terus berusaha kutingkatkan.

Hari ujian pun tiba, Setelah mendapat lembar jawaban mereka, tak sabar kubuka, lalu kuperiksa saat itu juga. Ternyata alhamdulillah, hasilnya tidak mengecewakan, standar lah istilahnya. Meski ada beberapa anak yang dapat nilai di bawah rata-rata, namun sebagian besar sudah memenuhi target yang kutetapkan. Bahkan ada juga yang memperoleh nilai sempurna.

Subhanallah.. Sungguh tak kusangka. Tapi walau begitu, aku tetap tak boleh bersenang hati dulu. Sebelumnya aku harus membandingkan nilai mereka dengan kelas di atas dan di bawah mereka. Aku mulai dialiri rasa cemas, lagi. Bagaimana kalau nilai rata-rata mereka paling rendah? Terlebih lagi, mau aku letakkan dimana wajahku bila bertemu wali kelas mereka? Kucoba menghilangkan ketakutanku.

Beberapa hari kemudian, jelas bahwa syak prasangkaku sama sekali tak beralasan. Nilai mereka jauh melampaui kelas-kelas disekitarnya. Baik di atas maupun di bawah. Aku pun bisa bernapas lega, juga tersenyum puas. Semua cemoohan dan kritikan yang kurasakan lenyap tak berbekas.
Usaha dan kesabaranku, telah diganjar kini…

Komentar

Baca Tulisan Aisyah El Zahra Lainnya

SEROJA

GELAP

SURAT (3)