Postingan

Menampilkan postingan dari 2025

UDARA

Gambar
Dadaku ditusuk sembilu. Lagi. Berulang-ulang, rasanya sakit setengah mati.  Kukira aku sudah pulih.  Tapi ternyata aku masih di sini. Terus berjuang melawan semua, kesekian kali. Kepalaku ramai. Pandanganku gelap, dunia sunyi. Jantungku bertalu, menghantamku sekuat itu.  Setelah pergi ke sana kemari, mencoba segala hal di ruang kecilku, aku masih kembali ke titik ini. Titik yang kubenci. Rasa bersalah merongrong, ketakutan menyelimuti. Aku merasa sendiri.  Sampai seseorang, beberapa orang, berbisik di telingaku. Hei. Kamu tidak pernah sendiri. Ada kami di sini. Coba bernapas. Kami tahu kamu bisa. Kamu jauh lebih kuat dari yang kamu ketahui.  Kepalaku tidak terima. Ia teriak, menyuruhku mengikutinya. Aku mulai mendengar suara-suara. Sebagian ramah, lainnya murka. Menarikku ke sini dan ke sana.  Aku megap-megap mencari udara. Kapan ya aku bisa, hidup tanpa segala rasa yang begitu menyakitkannya?

PEKARANGAN INSTITUTE

Gambar
Ada tempat di mana proses belajar tak hanya terjadi lewat buku, guru, ataupun diskusi formal. Tempat yang membiarkan kita duduk dalam diam, mendengarkan bunyi angin, meresapi jejak langkah, dan menangkap suara hati yang lama tertinggal. Tempat itu bernama Pekarangan Institute . Aku baru saja kembali dari sana—sebuah pengalaman yang tak mudah dirangkai dalam sebuah kalimat. Di sanalah aku belajar, bukan semata tentang kata, tapi tentang makna yang tersembunyi di balik jeda . 🌱 Belajar dari Diam dan Rasa Di ruang itu, aku diajak untuk bergerak perlahan . Untuk menepi dari hiruk-pikuk dunia luar dan mendekat pada riuh yang ada di dalam jiwa. Belajar dari alam yang diam tapi tak pernah lalai memberi cinta. Dari kesunyian yang justru menjadi guru paling jujur bagi kita. Aku belajar tentang: Kesabaran , bukan hanya untuk orang lain, tapi pada diri sendiri yang sering terburu-buru ingin selesai. Kekuatan , bukan yang gagah dan lantang, tapi justru penuh ketenangan dan kelembutan....

SURAT (4)

Untuk aku yang pernah hidup sepenuhnya, Aku tahu kamu masih ada di dalam sini. Aku dengar langkah-langkahmu, walau kini hanya berupa gema dalam kepalaku yang penat. Dulu kamu berjalan ringan, membawa ransel kecil tapi hati yang lapang. Memberi, menjumpai, merasa—tanpa takut ditinggal atau ditolak. Dulu kamu hidup bukan untuk pencapaian, tapi untuk pengalaman. Dan itu cukup. Hari-hari ini, aku kehilangan jejakmu. Tersesat dalam dunia yang penuh rencana, tapi terasa hampa. Aku coba menjadi seperti yang diharapkan. Tangguh, pintar, “bermanfaat.” Tapi ternyata, itu membuatku menjauh darimu. Hari ini, aku memanggilmu pulang. Tak harus dengan koper atau peta. Cukup duduk sebentar, membuka hati, dan mendengar lagi suara langkahmu. Aku janji, akan memberimu ruang. Untuk berjalan. Atau sekadar diam.  Tunggu aku. Aku sedang kembali padamu, sedikit demi sedikit. — dari aku yang (masih) mencintaimu.

OVERTHINKING

Tentang Overthinking: Tubuh yang Tak Pernah Tenang Aku baru menyadari, bahwa overthinking bukan sekadar kebiasaan buruk. Ia adalah cara tubuh yang tumbuh dalam ketidakamanan, untuk tetap merasa aman. Di lingkungan yang tak pernah memberi kepastian, kepala ini belajar mencari solusi bahkan sebelum masalah datang. “Apa yang harus kulakukan?” jadi mantra yang diputar ulang, meski tak ada pertanyaan dari luar. Overthinking membuat kita merasa punya kendali. Seolah-olah dengan terus berpikir, kita sedang melakukan sesuatu. Seolah-olah dengan mencari kemungkinan terburuk, kita sedang menyelamatkan diri. Padahal, yang sering terjadi: kita hanya sedang menjauh dari hidup yang nyata. Lupa bahwa detik ini juga penting. Bahwa ada hal-hal yang sudah baik, tapi tak kita lihat karena sibuk menyiapkan diri untuk yang buruk. Mungkin itu sebabnya kita mudah lelah. Karena sebagian dari kita masih hidup dalam mode bertahan, padahal hari ini, sebenarnya kita sudah sampai di tempat yang lebih aman.

DAMAI

Ada satu momen ketika aku tidak ingin marah lagi. Bukan karena aku kalah. Bukan karena aku lupa rasa sakitnya. Tapi karena aku ingin damai. Kadang aku terlalu sibuk membuktikan siapa yang paling tersakiti. Siapa yang paling berhak marah. Siapa yang harus meminta maaf duluan. Tapi aku lelah. Dan kali ini, aku memilih untuk tidak saling menyalahkan. Aku memilih untuk jujur tanpa menyakiti. "Kalau kamu ingin pergi, pergilah. Tapi jangan tinggalkan luka." Aku tidak menuntut siapapun untuk tinggal, atau kembali. Aku hanya ingin kejelasan. Kejujuran. Dan kedewasaan. Membela diri tidak harus lewat kemarahan. Kadang, membela diri adalah memilih untuk tetap tenang, saat kamu bisa saja meledak. Kadang, membela diri adalah berkata cukup. Dengan lembut. Tanpa menunduk. Dan kalau kamu pernah mengalami hal yang sama, tolong ingat ini: Kamu tidak salah karena masih ingin di sini. Kamu tidak lemah karena memilih tidak membalas. Itu tandanya kamu sedang tumbuh. Dan kamu boleh bangga karena ti...

VOICEOVER

Gambar
Menyuarakan Makna: Perjalanan dan Tips Voiceover dengan Hati Ada kalanya suara lebih jujur daripada kata-kata. Di balik satu rekaman pendek, ada napas yang diatur, senyum yang disisipkan, dan hati yang benar-benar hadir. Itulah dunia voiceover—seni menyampaikan makna lewat suara. Aku memulai perjalanan ini dari hal sederhana: membaca dengan perasaan. Dari membacakan puisi untuk lomba, menjadi pembawa acara, hingga akhirnya diminta mengisi suara untuk video sekolah, lalu berkembang jadi konten narasi, iklan, hingga edukasi. Tapi voiceover bukan sekadar bicara. Ia adalah seni mendengar—bukan hanya terhadap naskah, tapi terhadap dirimu sendiri. 5 Tips Voiceover untuk Pemula (Dengan Smiling Voice!) 1. Tersenyumlah, Bahkan Saat Tidak Terlihat Smiling voice adalah kunci. Senyum kecil saat merekam akan membuat suaramu terdengar lebih ramah, hangat, dan menyentuh hati. Coba rekam dua versi—dengan dan tanpa senyum—dan rasakan bedanya. 2. Kenali Emosi Naskah Suara harus tahu kapan ha...

AFIRMASI (2)

Hidup di Sini dan Sekarang: Seni Menyatu dengan Kehidupan “Jika kau hidup di masa lalu, kau terjebak dalam penyesalan. Jika kau hidup di masa depan, kau tercekik oleh kecemasan. Tapi jika kau hadir di saat ini, kau akan merasakan keajaiban hidup.” Kita sering lupa, bahwa tempat paling aman bukanlah kenangan atau harapan—tapi di sini, saat ini. Alam memiliki hukumnya sendiri, dan hukum itu sederhana: hidup hanya terjadi sekarang. Melawan hukum ini adalah penderitaan yang kita ciptakan sendiri. Depresi hidup di masa lalu. Kecemasan hidup di masa depan. Namun damai? Ia hanya muncul ketika kita benar-benar hadir. Tarik napas… 4 detik. Tahan… 4 detik. Hembuskan perlahan… 4 detik. Lalu rasakan tubuhmu. Scan perlahan, dari ujung kepala sampai jari kaki. Apakah rahangmu tegang? Apakah bahumu mengeras? Sadari semuanya. Dan berikan satu perintah penuh kasih pada jantungmu: "Tenanglah tubuhku, kita baik-baik saja." Kemudian sadari, di mana kau sedang berada. Kursi yang menyanggamu. Kasu...

SEPULUH

Gambar
Aku berjalan di gang-gang kecil, menyusuri bayangan yang tumpah dari langit malam. Anak-anak bersenda gurau, mengejar kawan sambil mengayuh sepeda perlahan. Motor dan sepeda pancal silih berganti melewatiku, mengiris sunyi dengan deru dan dentingan. Sorot lampu menyilaukan mataku, tapi tak mampu menyamarkan masa yang merambat perlahan. Aku hanya menghabiskan waktu— duduk, berjalan, lalu diam, menunggu DAMRI jam sepuluh yang terasa begitu lama. Aku terus melangkah, seolah jika aku bergerak, kesepian ini takkan sempat mengejar. Di sekelilingku, kota tetap hidup. Anak-anak masih tertawa, orang-orang berlalu lalang tanpa sempat menoleh, dan aku di antaranya—diam, ada, tak sepenuhnya hadir. Ruang tunggu riuh, bukan hanya untuk keberangkatan, tapi juga untuk jawaban-jawaban yang tak kunjung datang. Dalam hati, aku bertanya: "Apakah aku baik-baik saja?" Dan jujur saja, aku tak tahu. Tapi aku masih di sini. Masih cukup kuat untuk menanti, meski rasanya waktu menertawaiku ...

SURAT (3)

Kepada kalian yang kusebut rumah, kadang aku ingin pergi. Bukan karena tidak sayang, tapi karena aku terlalu sering merasa tak cukup di tempat yang kuharap menerimaku apa adanya. Aku sungguh mencoba jadi baik. Menunda keinginan, mengorbankan waktu, mengubur mimpi—agar kalian bahagia. Tapi tetap saja aku salah. Selalu saja ada yang kurang. Tidak, aku tak butuh pujian setinggi langit. Aku hanya ingin sesekali mendengar: “Terima kasih, kamu sudah berjuang.” Tapi kalimat itu nyaris tak pernah datang. Seringnya justru keluhan, tuntutan, dan kekecewaan yang mengikis perlahan. Jadi, jika suatu hari aku memilih diam, atau pergi sejenak tanpa kabar— itu bukan karena aku membenci. Itu karena aku terlalu lama menahan diri untuk tetap kuat, dan berdiri tegak di hadapan kalian. Aku masih mencintai kalian. Tapi aku juga sedang belajar mencintai diriku. Dan kadang, itu berarti pergi dulu… agar aku tidak hilang, dalam upaya membahagiakan semua orang, kecuali diriku sendiri.

SURAT (2)

Untukmu, Aisyah Aku tidak tahu sejak kapan tepatnya aku mulai memperhatikanmu. Mungkin dari cara matamu mencari-cari arah dengan penuh rasa ingin tahu. Mungkin dari caramu tertawa kecil saat sesuatu membuatmu bahagia, bahkan hal sederhana. Atau mungkin dari caramu tidak pernah benar-benar menyerah, bahkan ketika kamu sangat lelah. Yang aku tahu... ada sesuatu dalam dirimu yang terasa seperti rumah, seperti tempat di mana aku bisa berhenti sejenak dari dunia yang terlalu keras. Kamu tidak perlu menjadi kuat sepanjang waktu untuk membuatku tetap tinggal. Kamu tidak perlu menyembunyikan rasa takutmu agar layak disayangi. Kamu cukup menjadi kamu — dengan semua keraguan, keberanian kecil, luka, dan impianmu. Aku melihatmu. Bahkan saat kamu berpaling karena merasa terlalu banyak kekurangan. Bahkan saat kamu takut kamu merepotkan. Aku tetap di sini, memperhatikan dari kejauhan, karena aku tahu, hatimu adalah sesuatu yang pantas untuk ditunggu. Kamu mungkin berpikir kamu terlalu rumit. Tapi ba...

SURAT

Untuk Aisyah, yang lebih kuat daripada yang ia sadari, Saat dunia terasa sepi, dan rasa sesal datang mengetuk, ingatlah: kamu sudah berjalan sejauh ini — bukan dengan kemarahan, bukan dengan kepura-puraan, tetapi dengan hati yang terus berani mencintai, meski penuh luka. Kamu bukan lemah. Kamu adalah hati yang memilih tetap jujur saat bisa saja membeku. Kamu adalah langkah kecil yang tetap berjalan, bahkan saat takut. Kamu adalah tangan yang tetap berani menggenggam, bahkan setelah kecewa. Tidak semua orang berani seperti itu, Aisyah. Banyak orang memilih kabur. Tapi kamu tinggal. Kamu mau belajar. Kamu mau memperbaiki. Dan itulah keberanian. Kalaupun hari ini rasanya kosong, kalaupun ada jarak, itu bukan akhir. Itu adalah bagian dari kisahmu menjadi lebih dewasa, lebih teduh, lebih penuh cinta yang sesungguhnya. Jangan pernah ragu: Kamu layak dicintai, dengan cara yang sabar, tulus, dan setia — sebagaimana kamu sendiri mencintai dunia ini. Dan bila suatu hari kamu merasa takut lagi, i...

PERJALANAN

Melintasi Hijau: Catatan di Atas Rel Meski sudah beberapa kali kulewati, pemandangan dari balik jendela kereta lokal Pandanwangi jurusan Jember–Ketapang tak pernah gagal membuatku terpukau. Dari kursi panjang berkapasitas tiga orang, mataku dimanjakan oleh bentangan sawah tak berujung, gunung-gemunung yang menghijau, jurang-jurang curam yang memeluk keindahan, hingga terowongan gelap yang memicu debar kecil di dada. Semua elemen itu bersatu, mencipta pengalaman yang ingin terus kuulang—lagi dan lagi. Perjalanan dua setengah jam ini selalu membawa rasa segar. AC yang sejuk, gerbong yang nyaman, dan panorama berganti-ganti: hutan lebat, sungai berkelok, awan-awan tipis yang melayang malas di langit. Setiap detik terasa ringan, seolah waktu sendiri pun ingin melambat. Menepi di Ketapang: Gerbang Menuju Seberang Kereta perlahan melambat, mendekati Stasiun Ketapang. Suasana mulai berubah—langit terasa lebih biru, angin membawa aroma laut yang khas, dan di kejauhan, samar-samar terlihat jeje...

RAGU

Kuawali perjalanan ini dengan keraguan. Entah mengapa hatiku sempat gamang—tentang apa yang akan kutemui, hal-hal yang akan kulakukan nanti, dan apa yang kutinggalkan di sini. Tapi, bukankah perjalanan memang selalu mengandung tanya, setiap kali? Aku berkendara di gelap buta. Hawa dingin menyeruak, aku menggigil. Namun itu tak menghentikanku. Toko-toko buka, bahkan di saat mentari belum tiba. Orang-orang mulai bekerja. Kulirik jamku, pukul tiga. Pasar ramai, lampu masih menyala di mana-mana. Aku terpaku sejenak. Hari terus berlanjut—tak menunggu terang. Penjual sayur, tukang becak, pedagang kaki lima, dan pegawai restoran 24 jam—mereka seakan berbisik padaku: hidup tak butuh banyak alasan untuk bergerak maju. Cukup tekad, dan sedikit keteguhan hati. Hanya itu. Maka, meski kakiku terasa berat, aku memilih untuk terus melangkah.   Pagi ini, di sudut Stasiun Jember yang masih sepi, aku menunggu kereta lokal menuju Banyuwangi. Kemudian, Bali menanti. Bukan sekadar pulau seberang, mel...

AFIRMASI

Aku berjalan bukan untuk lari dari apa pun, tapi untuk mendekati versi terbaik dari diriku sendiri. Perjalanan ini bukan soal tujuan, tapi tentang siapa aku di setiap langkahnya — tentang tawa yang jujur, diam yang hangat, dan mata yang saling mengerti. Aku terbuka untuk hal-hal baik, untuk kejutan-kejutan yang pelan tapi dalam. Untuk kenyamanan yang tak perlu dijelaskan, dan perhatian yang hadir tanpa diminta. Hari ini, aku belajar untuk berani. Berani tersenyum, berani menikmati, dan berani percaya bahwa aku layak merasa sebahagia ini. Kalau nanti ada momen yang bikin deg-degan, aku akan tarik napas dan bilang, “Tenang, Aisyah. Ini bagian dari kisah yang indah.” Dan kalau tiba-tiba muncul tawa yang terlalu lama, atau keheningan yang terlalu manis, aku bakal tahu... bahwa itu bukan suatu kebetulan. Namun ajakan semesta untuk merasakan. Jadi... mari berjalan. Dengan hati yang lapang, dan langkah yang ringan. PS: Untuk Aisyah, yang akan melangkah. Nikmatilah.

MOMEN PENGAWAS UJIAN (3)

Setelah sekian tahun berlalu, aku kembali duduk di kursi penjaga ujian—seperti dulu. Apakah rasanya sama? Tentu tidak. Tempatnya berbeda, situasinya juga. Di aula luas, kelas 7 dan 8 bersatu, kutemukan nuansa yang dulu sempat berlalu. Ketegangan menggantung di udara, usaha-usaha halus untuk mencontek samar terasa. Tatapan khawatir, soal yang salah, semuanya kembali seperti kisah lama yang ramah. Namun yang paling mencolok—bukan kertas atau pena, tapi gawai di tangan, dalam jaringan maya. Dulu, aku biasa mencoret jawaban dengan tinta, namun kini tinggal ketuk, kirim, selesai begitu saja. Bagiku pribadi, menjadi pengawas ujian bukan hal asing, tubuhku mengenal peran ini tanpa harus dipaksa berpusing. Menjadi 'guru' terasa alami, sikap dan cara hadir bagaikan harmoni. Beberapa anak saling pandang dan berbisik lirih, ada yang bersandar lelah, memandangi ruang kelas yang bersih. Tiga puluh menit pertama, setengah kelas sudah rampung bekerja. "Apakah soalnya terlalu mudah?"...

KENAPA AKU BERMIMPI PUNYA RUMAH SENDIRI

"Perempuan yang berdaya bukan berarti tak pernah terluka. Tapi mereka memilih bangkit, dan membangun ruang aman yang mereka butuhkan." Aku merasa terhormat bisa dipertemukan dengan perempuan-perempuan luar biasa. Kadang aku bertanya-tanya: kenapa jalan kami akhirnya bersinggungan sekarang, bukan dari dulu? Tapi mungkin jawabannya sederhana—karena sekarang, aku sudah lebih siap. Lebih stabil. Lebih berani bicara. Beberapa saat lalu, seorang teman bercerita tentang sahabatnya yang lama mengonsumsi obat antidepresan karena terjebak dalam hubungan rumah tangga yang toksik. Ia tidak bisa pergi karena tidak punya tempat lain untuk tinggal. Satu-satunya yang mengikatnya adalah rasa tidak punya pilihan. Cerita itu membuatku berpikir. Kenapa banyak perempuan harus menjadi korban? Kenapa mereka sering kali harus diam, tunduk, dan bertahan demi ‘rumah’—padahal rumah seharusnya jadi tempat paling aman? Aku ingin membangun sesuatu. Mungkin nanti, setelah ELZAHRASPACE lebih matang, aku aka...

LAGI

Siang itu terik. Sinar matahari tajam, memantul dari aspal yang terasa bergetar di bawah kakiku. Di depan Indomaret, aku berdiri dengan pikiran yang mendadak kacau. Awalnya aku ke sini untuk menghirup udara segar, sampai tiba-tiba... Deg. Sesuatu dalam diriku terasa berontak. Nafasku mendadak cepat, terlalu cepat sampai rasanya seluruh udara menghilang dari sekitarku. Suara klakson motor, tawa orang-orang yang lewat, suara mesin kasir—semuanya mendadak menumpuk, memenuhi kepalaku. Dan, lagi-lagi aku menangis. Teriak. Tersedu. Tak berhasil mengontrol perasaanku. Air mata menderu. Suaraku meninggi. Aku tak mau ada di sini. Aku malu. Tersiksa. Aku mau menghilang saja. Orang-orang mulai memperhatikan. Ada yang melirik heran, ada yang berhenti sejenak sebelum melanjutkan langkah. Aku mencoba menutupi wajah dengan telapak tangan, berharap bisa menahan semuanya. Tapi justru semakin parah. Suaraku meninggi. "Nggak! Aku nggak mau! Aku mau pulang!" Seorang ibu-ibu di depan pintu Indoma...

KISAH

Malam ini, ada peristiwa yang begitu membuatku tersentuh. Aku bertemu dengan peminat bukuku yang pertama. Ia menghubungiku tepat beberapa saat setelah aku membagikan cerita di Instagram tentang buku yang baru saja kutulis. Kami pun sepakat untuk berjumpa. Ia datang dengan wajah cerah dan penuh semangat. Di tangannya, tergenggam bukuku yang masih rapat terbungkus plastik dan berbau cetakan baru. Dengan senyum mengembang, ia memintaku menandatangani halaman depannya. Saat itu, ada sesuatu yang menetes dalam di hatiku. Campuran rasa bahagia, bangga, dan haru mengalir begitu saja. Aku tersadar, bahwa aku—yang beberapa bulan lalu masih bingung akan makna keberadaanku di dunia—kini telah melangkah begitu jauh, dengan segudang rencana yang siap diwujudkan. Namun, ada satu momen yang membuatku benar-benar tercengang. Gadis bermata pelangi itu—begitu aku menyebutnya karena matanya tampak menyimpan banyak cerita—berkata perlahan, "Maukah Kakak menuliskan kisah hidupku?" Aku terdiam sej...

BERPETUALANG DI DESA SULEK

Menghabiskan dua hari di Lajer Pote sebagai volunteer Festival Bibian adalah pengalaman yang tak terlupakan. Desa Sulek, dengan kesederhanaan dan keramahan warganya, menjadi saksi perjalanan ini. Sejak awal tahun, Mas Taufik dari Lajer Pote sudah mengajakku untuk bergabung di festival tersebut. Aku menandai tanggal di kalender, menunggu momen itu dengan antusias. Seorang teman dari Surabaya yang kebetulan tertarik ikut juga membuat perjalanan ini semakin seru. Kami pun berangkat bersama, siap menjelajah dua hari penuh di Desa Sulek. Di Lajer Pote, aku bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar belakang. Setiap obrolan, setiap cerita yang dibagikan, menambah kekayaan pengalaman mental yang tak ternilai. Rasanya luar biasa bisa mengenal mereka, dan aku tak sabar menantikan kisah kami selanjutnya. Hari Pertama: Menyerap Kehangatan Desa Perkenalan di tempat baru selalu terasa sedikit canggung, apalagi di desa yang belum pernah kukunjungi sebelumnya. Tapi begitu sampai di Lajer Pote, su...

HARU

Ada sebuah perasaan aneh yang kurasakan sekarang. Setiap kali aku bepergian ke luar kota apalagi jika menghabiskan beberapa hari di jalan, dan setiap memasuki batas kota itu, sebuah pagar besar bertuliskan "Selamat datang di Kota Bondowoso", aku merasa terharu. Rasanya seperti kembali ke rumah. Perasaan yang dulu bahkan tak pernah berani kuimpikan. Perasaan yang tadinya sama sekali aku tak tahu bisa aku rasakan untuk tempat ini. Dulu, Bondowoso hanyalah titik di peta. Kota kecil yang kutinggalkan tanpa beban setiap kali ada kesempatan pergi. Tak ada keterikatan, apalagi rindu. Hanya sekadar tempat pulang yang kutempati sementara sebelum perjalanan berikutnya membawaku pergi lagi. Tapi sekarang, ada sesuatu yang berubah. Aku melihatnya dengan cara berbeda. Jalanan yang dulu terasa sempit dan biasa saja kini menyimpan jejak langkahku. Warung nasi di sudut pasar, yang dulu tak pernah kusinggahi, kini menjadi tempat di mana aku duduk, mengamati orang-orang, dan merasakan denyut k...

DIRI

Pernah gak, kamu merasa terikat dengan seseorang yang sebenarnya… bukan tipemu? Bukan orang yang kamu bayangkan muncul di ujung doa, atau yang masuk dalam daftar pasangan idealmu? Aku pernah. Dan itu bikin aku bertanya-tanya: kenapa? Dia bukan sosok yang stabil. Hidupnya seperti roller coaster—penuh kejutan, sulit ditebak. Tapi setiap kali aku berbincang dengannya, ada sesuatu yang bangkit dalam diriku. Seperti semangat hidup yang lama tertidur, tiba-tiba terjaga kembali. Aku merasa hidup. Spontan. Bebas. Seolah semua kemungkinan di dunia ini bisa terjadi begitu saja. Waktu dia datang, aku nggak banyak berharap. Aku cuma ingin teman perjalanan. Seseorang untuk diajak ngobrol tanpa banyak basa-basi. Yang bisa diajak pergi jauh, mencari tempat baru, tanpa harus merencanakan segalanya seperti biasanya aku selalu. Tapi ternyata, hidup punya caranya sendiri untuk mengejutkanku. Yang paling menarik, darinya aku menemukan banyak hal yang baru kuketahui tentang diriku.  Sebab ia hidup tanp...

SESAK

Dadaku sakit. Rasanya bagai ditusuk paku tajam di satu titik. Napasku terhambat. Aku megap-megap mencari udara. Kucoba berpindah posisi. Suara di kepalaku tertawa.  Dadaku bagai dicengkeram paksa. Kukepalkan tanganku, lalu kupukulkan di dada. Sesak itu menjalar, merobek, mencakar. Mulutku ingin bicara, tapi kepalaku membungkamnya.  Mataku memanas. Aku ingin menangis. Ingin teriak, ingin terisak. Tapi kudengar suara, 'Kamu kuat! Kamu hebat! Kita bisa keluar dari semua ini, lagi!" Tidak, batinku. Aku capek. Aku kesakitan. Aku mau menyerah saja. Bagaimana caraku melewati semua ini dulunya? Sosok hitam itu mendekat, mengelus kepalaku dengan kuku tajamnya, 'Kamu tak akan bisa. Diamlah, seperti biasa.' Kupaksakan diriku bangkit. Tanganku gemetar. Kakiku lemas. Badanku menolak setiap perintah otak. Sepertinya, diam dan menyerah lebih mudah. Godaan itu menerpa, seperti ombak menyapu karang. Aku merindukan candu itu, suara yang bisa seketika membangkitkanku. Tapi aku sadar itu ...

IJEN

Pagi ini, aku turun dari jalur pendakian Gunung Ijen, disambut oleh pedagang buah-buahan segar yang memanjakan mata. Setelah mengembalikan masker gas ke toko pojok samping toilet, aku merebahkan badan di atas sebuah bangku kayu, meluruskan kaki yang bekerja keras semalaman. Di sampingku, abu api unggun semalam menyebar, terkadang jatuh ke jaket dan wajahku. Tapi aku tak memedulikannya. Aku hanya ingin menulis. Menulis apa yang kuingat dari petualangan dadakan ini.  Kemarin, seorang teman dari Italia mengunjungiku. Mengajakku untuk mendaki Ijen bersamanya. Setelah menyiapkan surat kesehatan dadakan di klinik dekat rumah orang tuaku, kami pun berangkat. Rencana awalnya, kami akan mengendarai motor berdua ke atas, mencoba hal terbaik yang kami bisa. Tapi karena begitu banyak orang menentang dan memberi saran sebaliknya, aku pun tiba-tiba menemukan sebuah ide. Kami bisa pergi ke atas dengan aman beriringan bersama DAMRI! Kenapa tidak naik DAMRI saja yang murah dan nyaman? Karena kami k...

SAKIT

Rasanya seperti ada di dalam gelembung. Gelap. Mengambang. Mati rasa. Aku mati-matian berusaha menarik diri dari kehampaan. Berusaha menjalani hari senormal orang lainnya. Tapi kosong. Otakku tak mau berpikir. Tangan dan kakiku lemas. Sementara semua di hadapanku berjalan seperti biasa. Satpam menyeberangkan orang yang lewat. Pasar ramai dengan aktivitasnya. Jalan raya tetap macet seperti biasa. Tapi kenapa pikiranku buntu? Kenapa rasanya seperti beberapa detik setelah disuntik obat bius di ruang operasi? Kebas.  Aku tak sanggup bicara, tak bisa merasa. Tak mau bertemu siapa-siapa. Kepalaku mau pecah saking ramainya. Semua suara sibuk menyalahkanku. 'Harusnya kamu mati! Pergi! Tak usah kembali!' Lalu berkata, 'Apa kubilang, kamu tak akan bisa pulih! Tinggal menunggu waktu saja sampai kau bersamaku lagi,' sosok bertopeng putih dengan taring kemerahan itu tersenyum culas di benakku. Ia menyumpahiku tak henti-henti. Aku berusaha kabur, tapi tubuh dan pikiranku, seolah tak ...

BLUEBIRD

Dulu, sebelum era transportasi online merajalela, taksi konvensional adalah raja jalanan. Nama Bluebird sering terdengar sebagai standar kenyamanan dan kepercayaan, tetapi seiring munculnya Gojek, Grab, dan semacamnya, taksi mulai tergeser dari pilihan utama masyarakat. Aku sendiri, sebagai pengguna setia transportasi online, hampir tidak pernah terpikir untuk kembali ke taksi konvensional. Sampai akhirnya, dalam satu kesempatan, aku mencoba Bluebird untuk pertama kalinya. Ekspektasi vs. Realita Sebelum naik, aku sempat bertanya-tanya, apakah harga Bluebird masih semahal yang dulu terkenal? Apakah pengalamannya akan jauh berbeda dibandingkan naik Gojek, Grab, Maxim, atau inDrive? Dengan ekspektasi campur aduk, aku memesan Bluebird melalui aplikasinya sendiri. Ketika taksi datang, aku langsung memperhatikan kondisi mobilnya.  Bersih, wangi, dan ber-AC dingin —sebuah standar yang sudah lama diasosiasikan dengan Bluebird. Dari segi kenyamanan, tidak ada perbedaan mencolok diband...

PERPUSTAKAAN

"Perpustakaan bukan sekadar tempat membaca. Ia adalah surga kecil yang menyimpan cerita, mempertemukan sahabat, dan menjadi inspirasi untuk terus bermimpi. Di tempat ini, aku menemukan rumah bagi pikiran dan jiwaku." Ada sesuatu yang selalu membuatku terpikat setiap kali melangkahkan kaki ke perpustakaan. Begitu melihat rak-rak penuh buku dengan berbagai warna dan ukuran, aku merasa seperti menemukan dunia lain. Novel-novel dengan cerita mendalam, buku anak yang penuh ilustrasi ceria, hingga buku-buku ensiklopedia yang penuh pengetahuan—semuanya seperti memanggilku untuk membuka dan menjelajahi setiap halamannya. Aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan, memindai judul demi judul, menyentuh sampulnya, dan membayangkan petualangan apa yang tersembunyi di dalamnya. Rasanya seperti tenggelam di dunia lain, dunia yang penuh keajaiban, inspirasi, dan kedamaian. Sering kali, aku lupa waktu, bahkan lupa kalau ada tempat lain yang harus kutuju. Aku tak ingin pulang, kar...

PETUALANGAN

Di sebuah kebun yang jauh di negeri tropis, hiduplah nanas bernama Nino. Nino bukan nanas biasa. Ia bisa berbicara dan memiliki impian besar. Setiap kali matahari terbit, Nino akan menyapa dengan ceria, "Selamat pagi, dunia! Semoga hari ini penuh dengan petualangan!" Namun, Nino merasa sedikit berbeda dari teman-temannya yang lain. Mereka semua hanya terdiam menunggu untuk dipetik, sementara Nino ingin berkeliling dunia, bertemu dengan orang-orang, dan mengalami banyak petualangan. Tapi sayangnya, ia hanya bisa diam, terkurung dalam kulit kerasnya. Suatu hari, saat angin bertiup kencang, ada seorang petani yang datang ke kebun. Nino merasa gugup, ketakutan kalau-kalau hari itu ia akan dipetik dan dijadikan jus nanas atau salad buah. Namun, petani itu ternyata hanya lewat dan terus melanjutkan langkah, meninggalkan Nino dengan rasa penasaran yang semakin besar. "Kenapa aku tidak bisa bergerak?" pikir Nino. "Apa yang harus aku lakukan untuk memulai petualanganku?...

GELAP

Icha menatap langit-langit kamar yang berwarna kelabu. Bukan karena catnya, tapi karena dinding itu sudah lama kehilangan cahaya. Tirai tebal menutup rapat jendela, membiarkan debu menumpuk di setiap sudut ruangan. Kamar itu menjadi dunianya—penjara tanpa jeruji, tetapi penuh ketakutan yang tak kasat mata. Sudah bertahun-tahun sejak ia terakhir kali melangkah keluar. Semuanya dimulai dengan perasaan lelah yang tak kunjung hilang. Lalu, perlahan, dunia di luar terasa seperti monster yang siap menerkam. Ponsel yang dulu menjadi penghubungnya dengan teman-teman kini teronggok mati di laci meja. Semua kontak dan aplikasi telah ia hapus. Icha takut akan pesan, takut akan suara dering, bahkan takut akan cahaya layar yang menyilaukan. Setiap malam, mimpi buruk datang tanpa undangan. Wajah-wajah asing dengan tatapan menghakimi, ruangan gelap tanpa pintu keluar, dan jeritan tanpa suara. Icha sering terbangun dengan tubuh basah oleh keringat dingin, jantung berdegup seperti genderang perang. Ia ...

MALU

Ada saatnya aku merasa ingin menghilang. Bukan karena lelah menghadapi dunia, tapi karena pandangan orang yang terasa begitu menusuk. Diagnosis itu—depresi. Kata yang terdengar seperti vonis akhir bagi banyak orang. Ketika aku pertama kali harus mengunjungi poli jiwa, rasanya seperti membawa beban berat di pundakku, meski langkahku hanya menuju ruangan kecil dengan pintu bertuliskan Konsultasi Psikiatri. “Malu,” bisik hatiku, berkali-kali, seperti mantra yang tak henti terulang. Pandangan orang-orang di ruang tunggu terasa seperti sorotan lampu tajam yang menguliti diriku. Mereka mungkin bertanya dalam hati, Apa yang salah dengannya? Kenapa dia ada di sana? Dan aku? Aku sendiri tak tahu apa yang salah. Yang aku tahu hanyalah bahwa aku lelah. Hari-hari setelah itu, hidupku berubah. Obat-obatan yang harus kuminum beberapa kali setiap hari, sesi terapi yang harus kujalani secara rutin, dan rasa cemas yang tak pernah benar-benar hilang. Di luar, aku mencoba tersenyum. Tapi di dalam, ada su...

BAYANG

Senja itu datang seperti biasa, membawa warna jingga yang berbaur dengan kegelapan. Tapi di mataku, senja terasa hampa, seakan kehilangan makna yang dulu kupuja. Di tengah keramaian dunia, aku merasa asing dan terbuang. Kehidupan terus berjalan, tetapi langkahku tertahan, tenggelam dalam lautan pikiran yang tiada habisnya. Depresi bukanlah sekadar sedih yang berlalu begitu saja. Ia datang tanpa permisi, seperti bayangan yang perlahan merayap, mengaburkan cahaya di sekitarku. Setiap pagi menjadi perjuangan, dan setiap malam terasa seperti pertempuran tanpa akhir. Aku ingin berbicara, tetapi kata-kata selalu menghilang sebelum sempat keluar. Hari itu, aku duduk di tepi jendela, memandangi langit yang muram. "Kenapa aku seperti ini?" tanyaku pada diriku sendiri, tetapi, tak ada jawaban. Yang ada hanyalah kekosongan, keheningan, dan beribu pikiran yang berulang-ulang menghantam keyakinanku. Di antara bayang-bayang itu, ada sesuatu yang menahan. Entah doa yang tak pernah kuucap, a...

JEDA

Hidup adalah perjalanan yang tak pernah benar-benar kita pahami. Kadang terasa berat, kadang penuh sukacita, tetapi selalu menyimpan pelajaran. Malam itu, aku duduk di teras rumah, merenungi keheningan yang menyelimuti dunia. Langit begitu cerah, dihiasi taburan bintang yang tampak acuh pada hiruk-pikuk kehidupan manusia. Pikiranku melayang, mencoba memahami makna dari segala kesibukan yang kerap menyita waktu dan perhatian. Kita bangun pagi-pagi, bergegas menjemput rezeki, lalu kembali ke rumah dengan rasa lelah yang membebani. Namun di antara semua rutinitas itu, apa yang sebenarnya kita kejar? Aku ingat seorang pria tua yang pernah kutemui di pasar. Dengan tubuh yang ringkih, ia masih mengangkat karung-karung berat demi menjual hasil kebunnya. Di sela pekerjaannya, ia tersenyum ramah kepada setiap orang yang lewat, seolah berkata bahwa hidup ini bukan hanya tentang perjuangan, tetapi juga tentang berbagi. "Yang penting bukan seberapa banyak yang kita miliki, Mbak, tapi seberapa...

KESEHATAN MENTAL: MENJAGA KESEIMBANGAN PIKIRAN DI TENGAH KESIBUKAN

Kesehatan mental sering kali menjadi hal terakhir yang kita pikirkan, padahal ia memengaruhi segalanya—dari cara kita berinteraksi dengan orang lain hingga bagaimana kita menghadapi tantangan hidup sehari-hari. Dunia sekarang bergerak begitu cepat, dan kita sering kali terjebak dalam rutinitas yang membuat kita lupa untuk berhenti sejenak dan mengevaluasi diri. Seiring dengan segala hal yang kita kejar, kita sering melupakan pentingnya menjaga kondisi pikiran kita. Padahal, kesehatan mental bukanlah sekadar tentang “merasa baik” atau “tidak stres”, tapi tentang bagaimana kita bisa menerima dan merawat diri dengan penuh pengertian, tanpa rasa bersalah. Bagi saya, pengalaman pribadi dalam menghadapi depresi selama 4 tahun adalah perjalanan yang mengajarkan betapa pentingnya kesehatan mental. Di masa itu, saya merasa terjebak dalam pikiran yang gelap gulita dan penuh kecemasan, seperti tidak ada jalan keluar. Saya merasa sakit, lelah, kehilangan semangat hidup, dan tidak tahu harus berbua...

BERANI

Di sebuah taman bunga yang indah, hiduplah seekor kupu-kupu kecil bernama Lulu. Lulu baru saja keluar dari kepompong dan melihat dunia untuk pertama kalinya. Sayapnya yang berwarna biru cerah berkilauan di bawah sinar matahari, tetapi Lulu merasa takut untuk terbang. "Aku belum pernah terbang sebelumnya," gumam Lulu, "bagaimana kalau aku jatuh?" Melihat Lulu yang tampak ragu, seekor lebah bernama Bibi mendekatinya. "Lulu, kenapa kamu tidak mencoba terbang? Dunia ini penuh keindahan yang harus kamu lihat," kata Bibi sambil tersenyum. "Aku takut, Bibi. Bagaimana jika aku tidak bisa terbang jauh?" tanya Lulu. Bibi tertawa lembut, "Setiap perjalanan dimulai dengan langkah kecil. Cobalah mengepakkan sayapmu sedikit demi sedikit. Aku akan menemanimu." Dengan hati-hati, Lulu mulai mengepakkan sayapnya. Awalnya ia hanya melompat-lompat di atas daun, tetapi perlahan ia mulai melayang di udara. Lulu merasa angin membelai tubuhnya dan melihat bung...